Dosa asalDosa asal menurut doktrin teologi Kristen adalah kondisi pertama kali manusia berbuat dosa saat di Taman Eden. Walau Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sering membicarakan penuhnya dosa dalam diri manusia tidak memiliki kata-kata "dosa asal" dan "Dosa leluhur", doktrin yang menggunakan kata-kata ini disebutkan berdasarkan pada ajaran Rasul Paulus dalam Roma 5:12-21 dan 1 Korintus 15:22. Setelah melihat doktrin ini, yang tidak ditemukan di teologi Yahudi, termuat secara terselubung di kalimat-kalimat Perjanjian Lama seperti di dalam Mazmur 51:5 dan Mazmur 58:3.[butuh rujukan] Pandangan Gereja KatolikKatekismus Gereja Katolik (KGK) 377 menuliskan bahwa saat awal mula manusia pertama diciptakan Allah, manusia bebas dari kecenderungan jahat yang membuatnya terikat pada kenikmatan inderawi; saat itu seluruh kodratnya utuh dan teratur.[1] Namun manusia pertama, Adam dan Hawa, oleh karena dosa mereka menurunkan kodrat manusiawi yang terluka — yang mengalami kekurangan keadilan dan kekudusan asal yang diterima dari Tuhan — kepada semua manusia keturunan mereka. Kekurangan tersebut dinamakan "dosa asal" (KGK 416-417).[2] Akibat dosa asalDosa asal tersebut mengakibatkan kodrat manusia menjadi lemah dan dilukai kekuatan alaminya, tetapi kodratnya tidak sepenuhnya rusak (KGK 405).[2] Dosa asal yang dilakukan manusia pertama (Kejadian 3:1-6) mengakibatkan manusia kehilangan:[3]
Hilangnya berkat keutuhan menyebabkan manusia kesulitan menundukkan keinginan dagingnya pada akal budinya. Sehingga manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa, atau konkupisensi (KGK 405-418).[2] Kehendak Allah dan kehendak manusiaGereja Katolik, sebagaimana juga dengan Gereja Ortodoks, menolak ajaran mengenai "kerusakan total" dan menyatakan bahwa kodrat manusia memang rusak akibat dosa asal, tetapi tidak sepenuhnya rusak. Santo Yohanes Kasianus — seorang Bapa Gereja — menyatakan bahwa hanya rahmat dari Allahlah, bukan kehendak bebas manusia —bahkan iman, yang bertanggung jawab atas segala sesuatu terkait dengan keselamatan.[4] Ia menekankan bahwa manusia masih memiliki kebebasan moral dan pilihan untuk mengikuti (kehendak) Tuhan, atau menolaknya. Ada beberapa kasus di mana seseorang memulai suatu langkah kecil (untuk berbuat baik) yang pertama kali,[5] tetapi dalam pandangan St Yohanes Kasianus, segala bentuk pendorong niat baik yang mungkin ada — di mana belum tentu disebabkan secara langsung oleh Allah — tidaklah cukup dan hanya campur tangan langsung dari Allah yang dapat memastikan kemajuan rohani seseorang.[6] Sementara itu KGK 1037 menuliskan kembali apa yang dinyatakan dalam Konsili Orange II tahun 529 bahwa tidak ada seorang pun di dunia yang ditentukan oleh Allah untuk masuk ke dalam neraka.[7] Dengan kata lain berarti bahwa Allah menghendaki keselamatan semua manusia, dan kerja sama dari manusia — melalui kehendak bebasnya — tetap diperlukan untuk mengikuti kehendak-Nya agar ia dapat meraih keselamatan. Lihat pulaReferensi
|