Derma adalah uang, pangan, atau benda-benda lain yang disumbangkan kepada fakir miskin. Memberi derma kerap dianggap sebagai amal kasih. Tindakan memberi derma disebut bederma.
Etimologi
Kata derma berasal dari kata Sangsekertadharma (धर्म), yang berarti kepatutan, kebajikan, perbuatan yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah sedekah, dari kata Arabṣadaqah (صدقة), yang berarti segala macam kebajikan yang diperbuat dengan tulus ikhlas kepada sesama manusia.
Dalam agama Buddha, baik tindakan "bederma" maupun tindakan "memberi" disebut dāna.[1] Berdāna merupakan salah satu dari ketiga jalan amalan yang dianjurkan oleh Sang Buddha kepada umat awam.[2] Tiga jalan amalan bagi umat awam adalah dāna, sīla, dan bāwanā.[3]
Tindakan bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha:
yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni)
saling bergantung satu sama lain
kedua-duanya mencapai Darma sejati....
Dalam agama Buddha mazhab Theravada, biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk mengumpulkan derma (pindacara) berupa persembahan makanan (piṇḍapāta). Tindakan ini sering kali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam untuk menciptakan pahala kebajikan (puṇya). Uang tidak dapat diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan pratimoksa (Pali: patimokkha) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.[5]
Di negara-negara penganut mazhab Mahayana, praktik pindacara sudah nyaris punah. Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang mempraktikkan pindacara. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik pindacara. Di Jepang, praktik takuhatsu yang dilakukan setiap minggu atau setiap bulan menggantikan praktik pindacara. Di negara-negara pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat pelaksanaan pindacara berpotensi membebani keluarga-keluarga di sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan masyarakat juga membuat praktik pindacara menjadi sukar dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di Kerajaan Silla di Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.
Dalam agama Buddha terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi – dan semakin banyak orang memberi tanpa pamrih – semakin makmur (dalam arti luas) pula orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan maupun untuk membantu si penerima. Dalam tradisi mazhab Mahayana, meskipun Triratna tempat berlindung merupakan dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai salah satu dari kesempurnaan (paramita) sebagaimana yang termaktub dalam risalah Lama Tsongkhapa yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan Bertahap' (bahasa Tibet Baku: lam-rim bsdus-don):
Kerelaan yang bulat untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu mengabulkan harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara.
Ialah senjata tertajam untuk meretas simpul kekikiran.
Ialah penuntun menuju perilaku bodhisatwa (makhluk yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian,
dan merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat.
Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya pada jalan mulia
yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.
Para lama yang senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian.
Jikalau engkau juga hendak mencari pembebasan,
alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan laku yang sama.[6]
Dalam agama Buddha, tindakan bederma adalah permulaan dari perjalanan mencapai nirwana (Pali: nibbana). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang mencapai keimanan (Pali: saddha), yakni salah satu kuasa utama (Pali: bala) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya bagi Buddha, Darma, dan Sangga.
Alasan-alasan yang mendasari tindakan bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan rohani. Kitab-kitab sutra (Pali: sutta) memuat berbagai macam alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan. Sebagai contoh, Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut:[7]
Asajja danam deti: memberi untuk menghina (memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina si penerima).
Bhaya danam deti: memberi karena takut bahaya.
Adasi me ti danam deti: memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau.
Dassati me ti danam deti: memberi dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari.
Sadhu danan ti danam deti: memberi karena tindakan memberi dianggap baik.
Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli).
Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti: memberi agar tampak baik di mata orang lain.
Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: memberi demi menghias dan memperindah akal budi.
Dalam agama Yahudi, tzedakah (bahasa Ibrani: צדקה, ṣedakah, secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai kedermawanan[9]) mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.[10] Pemberian tzedakah sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik ma'ser ani atau penyisihan sepersepuluh dari hasil bumi bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama Smitah (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi ganjaran perbuatan buruk.
Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.[11] Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.
Rohaniwan besar Yahudi, Musa bin Maimun, pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan si penerima menjadi pribadi yang mandiri sehingga mampu bertindak dermawan terhadap orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut:[12]
Memandirikan si penerima
Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal
Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi
Memberi bilamana si pemberi tidak mengenal si penerima, tetapi si penerima mengenal si pemberi
Memberi sebelum diminta
Memberi sesudah diminta
Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan rela
Dalam agama Islam, pada umumnya konsep kedermawanan dibedakan menjadi sadaqah dan zakat. Sadaqah berarti bederma secara suka rela, sementara zakat berarti bederma menurut ketentuan syariat Islam demi menunaikan kewajiban selaku pemeluk agama Islam dan warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun zakat memainkan peranan yang lebih besar bagi karya amal Islam, agaknya sadaqah yang lebih semakna dengan 'derma'.
Zakat adalah rukun (saka guru) ketiga dari lima rukun Islam.[13][14] Ada berbagai aturan terkait pelaksanaan zakat, tetapi secara umum, orang diwajibkan untuk menyerahkan 2,5% dari jumlah simpanan dan pendapatan usahanya, serta 5–10% dari hasil panennya kepada fakir miskin. Para penerima zakat meliputi orang-orang yang nyaris tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang berpenghasilan sangat rendah, orang-orang yang tidak sanggup membayar utang, orang-orang yang kehabisan dana dalam perjalanan, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Prinsip umum zakat adalah zakaah, yakni yang kaya harus memberi kepada yang miskin. Salah satu prinsip penting dalam agama Islam adalah ajaran bahwa segala sesuatu merupakan milik Allah, sehingga harta kekayaan hanya boleh disimpan sebagai titipan untuk dikelola.
Arti harfiah dari kata zakat adalah "memurnikan", "mengembangkan", dan "memicu pertumbuhan". Menurut syariat Islam, zakat adalah ibadah. Harta kekayaan seorang Muslim dimurnikan melalui tindakan memisahkan sebagian dari harta kekayaan itu bagi orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana tanaman dipangkas guna meremajakannya dan merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.
Zakat adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang waras (sehat rohani), merdeka, dan mampu secara finansial, untuk digunakan sebagai dana bantuan bagi pihak-pihak tertentu.
Pihak-pihak tertentu ini diperinci dalam surah At-Taubah ayat 60:
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (Al-Qur'an 9:60).
Sifat wajib dari Zakat ditetapkan dalam Al-Qur'an, sunah (atau hadis), dan mufakat para sahabat nabi dan para ulama. Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 34–35:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (Al-Qur'an 9:34–35).
Umat Muslim dari zaman ke zaman sepakat mengenai sifat wajib membayar Zakat atas emas dan perak, dan Zakat atas berbagai macam alat tukar lainnya.
Zakat menjadi wajib bilamana jumlah uang telah mencapai atau melebihi batas tertentu yang disebut nisab. Zakat tidak wajib jika jumlah uang yang dimiliki masih di bawah nisab. Nisab (atau jumlah terendah) untuk emas dan alat tukar dari emas adalah 20 miskal, yakni sekitar 85 gram emas murni. Satu miskal kurang lebih setara dengan 4,25 gram. Nisab untuk perak dan alat tukar dari perak adalah 200 dirham, yakni sekitar 595 gram perak murni. Nisab untuk jenis uang dan alat tukar lainnya disesuaikan dengan nisab untuk emas; nisab untuk uang setara dengan harga 85 gram emas 999 (emas murni) pada hari pembayaran Zakat.
Zakat menjadi wajib setelah uang berada dalam penguasaan pemiliknya sepanjang satu tahun kamariah. Jika telah memenuhi persyaratan waktu penguasaan ini, maka pemilik uang wajib merelakan 2,5% (atau 1/40) dari uangnya sebagai Zakat (satu tahun kamariah terdiri atas kurang lebih 355 hari). Pemilik uang harus terlebih dahulu mengurangkan jumlah uang yang ia simpan dengan jumlah uang yang ia pinjam dari orang lain; jika jumlah yang tersisa sudah mencapai nisab, barulah dihitung Zakat yang harus dibayar.
Jika si pemilik uang memiliki uang dalam jumlah yang sudah mencapai nisab pada awal tahun kamariah, namun jumlah kekayaannya kemudian meningkat sepanjang tahun itu, maka si pemilik uang harus menambahkan jumlah peningkatan kekayaannya pada jumlah uang yang sudah mencapai nisab pada awal tahun, barulah kemudian menghitung zakat yang harus ia bayar, yakni 2,5% dari jumlah keseluruhan uang yang ia miliki pada akhir tahun kamariah. Ada sejumlah perbedaan kecil di antara mazhab-mazhab fikih mengenai cara menghitung zakat. Tiap-tiap Muslim menghitung sendiri jumlah zakat yang harus dibayarnya. Nyaris semua perhitungan zakat mencakup pula pembayaran tahunan sebesar 2,5% dari jumlah modal yang dimiliki seseorang.
Orang yang saleh dapat pula bederma sekehendak hatinya dalam bentuk sadaqah, dan dianjurkan untuk melakukannya secara diam-diam. Meskipun dapat diartikan sebagai "sumbangan sukarela", kata "sadaqah" sebenarnya mengandung makna yang luas. Nabi Muhammad diriwayatkan pernah mengajarkan bahwa sekadar berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudara seiman sudah merupakan suatu sadaqah.
Nabi bersabda, "tiap muslim wajib bersadaqah." Para sahabat bertanya, "bagaimana kalau ia tidak memiliki sesuatu?" Nabi menjawab, "bekerja dengan keterampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersadaqah." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak mampu?" Nabi menjawab, "menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "beramar ma'ruf." Mereka bertanya lagi, "bagaimana kalau ia tidak melakukannya?" Nabi menjawab, "mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Agama Kristen
Bederma adalah adalah amal kasih terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Pada masa hidup rasul-rasul Yesus, umat Kristen diajari bahwa bederma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih demi keselamatan umat beriman.[15]Persembahan adalah bagian dari perayaan Misa Katolik Roma, ibadat Ekaristi Anglikan, dan kebaktian Lutheran manakala derma dikumpulkan. Sejumlah denominasi Kristen Protestan, seperti gereja Baptis atau gereja Metodis, juga melakukan pengumpulan derma, namun lebih sering menyebutnya sebagai pengumpulan "persepuluhan dan persembahan". Sejumlah denominasi Kristen mempraktikkan pengumpulan derma khusus secara teratur yang disebut persembahan kasih demi membantu fakir miskin, orang-orang yang tertimpa kemalangan atau bencana seperti kebakaran rumah atau biaya pengobatan yang besar. Menurut tradisi, para diakon bertanggung jawab mendistribusikan dana yang terkumpul kepada para janda, yatim piatu, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Banyak umat Kristen yang mendukung karya amal yang dilakukan oleh berbagai organisasi amal, meskipun tidak semuanya berkaitan dengan denominasi Kristen tertentu. Banyak lembaga pendidikan dan pengobatan Amerika yang didirikan oleh paguyuban-paguyuban Kristen melalui pengumpulan derma.
Di Gereja-Gereja Ortodoks Timur dan Gereja-Gereja Katolik Timur, pengumpulan derma dan sumbangan persepuluhan tidak disatukan dengan upacara persembahan dalam ibadat. Meskipun demikian, meletakkan piring persembahan di narteks gereja atau mengedarkannya selama ibadat berlangsung tidak jarang pula dilakukan. Dalam teologi Ortodoks, bederma merupakan bagian penting dari hidup rohani, dan berpuasa selayaknya selalu dilakukan bersama-sama dengan berdoa dan bederma.[16] Bederma atas nama orang yang sudah wafat juga sering kali dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan doa bagi orang-orang yang telah wafat. Orang-orang yang tidak mampu bederma dengan uang boleh bederma dengan cara lain, misalnya dengan berdoa syafaat dan tindakan-tindakan welas asih.
Sebagian besar denominasi Kristen melakukan pengumpulan "persepuluhan dan persembahan" untuk mendanai misi, belanja, pelayanan, dan penyantunan fakir miskin yang dilakukan oleh denominasi yang bersangkutan sebagai salah satu tindakan kedermawanan Kristiani yang penting dan dipersatukan dengan doa seluruh jemaat.
Di beberapa Gereja, "piring persembahan" atau "keranjang persembahan" diletakkan di atas altar untuk menunjukkan bahwa persembahan itu ditujukan kepada Allah, dan merupakan tanda ikatan kasih Kristiani.[note 3] Selain itu, tindakan-tindakan kedermawanan yang dilakukan secara pribadi, yang hanya dianggap mulia jika tidak dilakukan demi mendapatkan pujian orang, dipandang sebagai salah satu kewajiban seorang pemeluk agama Kristen.
Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.
Derma orang kaya dibanding derma orang miskin:
Yesus membandingkan derma dari orang kaya dengan derma dari orang miskin
Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."
Bedermalah karena cinta kasih, bukan karena diwajibkan:
Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.
Dāna (bahasa Sanskerta: दान) adalah gagasan kuno mengenai tindakan bederma dari Zaman Weda dalam agama Hindu.[17] Kata yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda adalah bhiksya (भिक्षा).[18][19] Pembahasan tertua mengenai dāna dalam Weda termaktub dalam Regweda, dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan cara bederma.[20]
Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita: bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara,
Harta orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan, bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.
Berlimpahlah rezeki orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang lemah,
Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan sahabat di kala susah kelak,
Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.
Hendaklah orang kaya mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh ke depan,
Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang, lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta,
Bodohlah orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya,
Ia tidak memberi makan sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang makan tanpa ditemani orang lain.
Kitab-kitab Upanisad terdahulu, yakni yang disusun sebelum 500 SM, juga membahas tentang kemuliaan bederma. Sebagai contoh, seloka 5.2.3 dalam Brihadaranyakopanisad mengajarkan bahwa tiga ciri dari orang yang baik dan maju adalah pengendalian diri (damah), welas asih terhadap segala makhluk hidup (daya), dan bederma (dāna).[22][23][24] Demikian pula parwa III dari Candogyopanisad mengajarkan bahwa kehidupan yang berbudi pekerti memerlukan tapa (semadi, bertarak), dāna (bederma), arjawa (tulus, tidak munafik), ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain) dan satyawacana (jujur).[25][26][27]
agawadgita menggambarkan bentuk-bentuk yang benar dan salah dari dāna dalam seloka 17.20 sampai seloka 17.22.[28] Dalam adyaya (bab) 91 dari Adiparwa (kitab pertama), salah satu parwa dalam wiracarita Hindu, Mahabarata, diajarkan bahwa manusia hendaknya pertama-tama mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jujur, barulah ia bederma; bersikap ramah-tamah terhadap orang-orang yang datang padanya; tidak menyakiti makhluk hidup lain; dan memberi sebagian dari apa saja yang ia makan kepada orang lain.[29] Dalam Wanaparwa (kitab rimba), adyaya 194, Mahabarata menganjurkan agar orang harus, "mengalahkan kekejaman dengan kedermawanan, ketidaktulusan dengan ketulusan, orang-orang jahat dengan pengampunan, dan ketidakjujuran dengan kejujuran".[30]Bagawatapurana membahas tentang bilamana dāna itu patut dan bilamana tidak patut dilakukan. Dalam parwa 8, adyaya 19, seloka 36, diajarkan bahwa kedermawanan tidak patut dilakukan bilamana membahayakan dan melumpuhkan penghidupan seisi rumah si penderma atau penghidupan si penderma sendiri. Purana menganjurkan tindakan mendermakan penghasilan yang masih tersisa sesudah dikurangi jumlah yang secukupnya untuk dipakai hidup secara sederhana.[31]
Dāna telah didefinisikan dalam karya-karya tulis tradisional sebagai segala macam tindakan pelepasan kepemilikan atas barang yang dianggap seseorang sebagai miliknya, dan menyerahkannya kepada seorang penerima tanpa mengharapkan apa-apa sebagai balasannya.[32] Jika dāna lazimnya ditujukan kepada satu orang atau satu keluarga, maka dalam agama Hindu ada pula pembahasan mengenai tindakan kedermawanan atau bederma demi kepentingan umum yang kadang-kadang disebut utsarga. Tindakan kedermawanan ini ditujukan bagi proyek-proyek yang lebih besar misalnya proyek pembangunan petirahan, pembangunan sekolah, penggalian sumber air minum atau irigasi, penanaman pohon, dan pembangunan fasilitas perawatan.[33]
Abū Raiḥān Al-Bīrūnī, sejarawan Persia pada abad ke-11 yang pernah tinggal selama 16 tahun di India sejak sekitar 1017 M, mencatat tentang praktik bederma dan kedermawanan di kalangan umat Hindu yang ia saksikan selama berada di negeri itu. Al-Biruni menulis bahwa "sudah merupakan kewajiban bagi mereka (umat Hindu) untuk setiap hari bederma sebanyak mungkin."[34]
Selain untuk membayar pajak, ada berbagai pendapat lain mengenai bagaimana cara orang memanfaatkan penghasilannya. Sebagian orang menyisihkan sepersembilan dari penghasilannya untuk didermakan.[35] Sebagian yang lain membagi penghasilannya (sesudah dikurangi pajak) menjadi empat bagian. Seperempat bagian yang pertama disisihkan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, seperempat bagian yang kedua disisihkan untuk karya-karya bebas dari pujangga berakal mulia, seperempat bagian yang ketiga disisihkan untuk didermakan, dan seperempat bagian yang keempat disisihkan untuk ditabung.
— Abū Rayḥān Al-Bīrūnī, Tarikh Al-Hind, abad ke-11 M[34]
Tindakan bederma dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu, dan dianjurkan untuk dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang menerimanya.[32] Sejumlah karya tulis, dengan mengacu pada hakikat kehidupan bermasyarakat, mengemukakan bahwa kedermawanan adalah salah satu bentuk karma baik yang berpengaruh pada keadaan dan lingkungan hidup seseorang di masa depan karena berlakunya asas timbal balik.[32] Dalam karya-karya tulis Hindu lainnya, misalnya Wyasa Samhita, diajarkan bahwa asas timbal balik mungkin saja merupakan bawaan lahir dan kelaziman dalam masyarakat namun dāna dengan sendirinya merupakan suatu kebajikan, karena perbuatan baik memuliakan fitrah pelakunya.[36] Naskah-naskah ini tidak menganjurkan tindakan kedermawanan terhadap orang-orang yang tidak patut menerimanya atau jika derma dapat membahayakan penerimanya, merangsang orang untuk melukai penerimanya, atau merangsang penerimanya untuk melukai orang lain. Jadi, dāna adalah suatu tindakan darma, yang memerlukan pendekatan idealistik-normatif, dan yang memiliki konteks rohaniah dan filsafati.[32] Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa dāna sebaiknya dilakukan dengan srada (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma tanpa anasuya (mencari-cari kesalahan si penerima).[37] Menurut Kohler, para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa ragu-ragu", di mana dāna menafikan kelemahan-kelemahan jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka panjang.[37]
Satram, catram, atau daramsala di India merupakan salah satu sarana untuk bederma dalam agama Hindu. Satram adalah pondokan atau rumah singgah bagi para musafir dan fakir miskin. Banyak di antaranya menyediakan air dan makanan secara cuma-cuma. Satram-satram ini lazimnya dibangun di sepanjang jalan yang menghubungkan situs-situs kuil Hindu utama di Asia Selatan, dan juga di bangun di dekat kuil-kuil besar.[38][39][40]
Kuil-kuil Hindu telah diberdayakan sebagai lembaga-lembaga karya amal.[41][42]Dāna persembahan umat Hindu yang terkumpul di kuil-kuil digunakan untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, serta untuk mendanai proyek-proyek pekerjaan umum seperti pengerjaan irigasi dan lahan reklamasi.[42][43] Bentuk-bentuk lain dari tindakan bederma dalam agama Hindu meliputi pemberian sumbangan berupa sarana-sarana kegiatan ekonomi dan penyediaan sumber pangan, misalnya Go Dāna (sumbangan berupa seekor lembu),[44]bu dāna (भू दान, sumbangan lahan), widya dāna atau nyana dāna (विद्या दान atau ज्ञान दान, sumbangan ilmu pengetahuan dan keterampilan), ausadā dāna (sumbangan pengobatan bagi orang sakit dan pemberantasan wabah penyakit), abaya dāna (sumbangan perlindungan dari rasa takut bagi orang yang sedang terancam bahaya), dan ana dāna (अन्ना दान, sumbangan makanan kepada fakir miskin, orang yang kelaparan, dan para musafir).[45] Menurut karya-karya tulis agama Hindu, sumbangan ilmu pengetahuan jauh lebih mulia daripada sumbangan makanan.[46][47]
^Bederma juga dianjurkan oleh Sang Buddha untuk dilakukan dengan cara yang lebih bersahaja dalam berbagai nas sahih, misalnya Dighajanu Sutta.
^Dalam bahasa Pali, ayat ini berbunyi: "Sabba danam, Dhamma danam jinati," terdapat dalam kitab Dhammapada, Bab 24, ayat 354. Thanissaro (1997)[8] menerjemahkan keseluruhan ayat ini sebagai berikut:
Anugerah Darma mengalahkan segala anugerah;
nikmat Darma mengalahkan segala nikmat;
sukacita Darma mengalahkan segala sukacita;
akhir dari keinginan, segala derita,
dan kecemasan.
^Rabbi Hayim Halevy Donin; 'To Be A Jew.' Basic Books, New York; 1972, hlm. 48.
^"Umat Yahudi tidak melakukan karya amal, dan konsep karya amal nyaris tidak ada dalam tradisi agama Yahudi. Sebagai gantinya, umat Yahudi memberi tzedakah, yang berarti 'kebenaran' dan 'keadilan.' Bilamana seorang Yahudi menyumbangkan uang, waktu, dan sumber-sumber daya yang ia miliki kepada orang yang membutuhkannya, ia tidak sedang bersikap welas asih, murah hati, atau 'dermawan.' Ia hanya sekadar bertindak benar dan adil." Tzedakah vs The Myth of Charity; oleh Yanki Tauber; Diakses 03-11-2012.
^Yakobus 1:27 "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."
^Kallistos (Ware), Bishop; Mary, Mother (1978). The Lenten Triodion. South Canaan PA: St. Tikhon's Seminary Press (dipublikasikan tanggal 2002). hlm. 35ff. ISBN1-878997-51-3.
^Shah dkk. (2013), Soulful Corporations: A Values-Based Perspective on Corporate Social Responsibility, Springer, ISBN978-8132212744, halaman 125, Kutipan: "Gagasan Daana (kedermawanan) berasal dari Zaman Weda. Regweda mengajarkan kedermawanan sebagai tugas dan tanggung jawab setiap warga negara."
^bhikSA Kamus Sanskerta Inggris, Universitas Koeln, Jerman
^Alberto Garcia Gomez dkk. (2014), Religious Perspectives on Human Vulnerability in Bioethics, Springer, ISBN978-9401787352, halaman 170-171
^R Hindery, Comparative ethics in Hindu and Buddhist traditions, The Journal of the International Association of Buddhist Studies, Jilid 2, Nomor 1, Halaman 105
^Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,ASINB00E0R033S, hlm. 43
^ abcdKrishnan & Manoj (2008), Giving as a theme in the Indian psychology of values, in Handbook of Indian Psychology (Editors: Rao et al.), Cambridge University Press, ISBN978-8175966024, hlmn. 361-382
^Sanjay Agarwal (2010), Daan and Other Giving Traditions in India,ASINB00E0R033S, hlmn. 54-62
^ abP Bilimoria et al. (2007), Dana as a Moral Category, in Indian Ethics: Classical traditions and contemporary challenges, Jld. 1, ISBN978-0754633013, hlmn. 196-197 disertai catatan kaki
^KN Kumari (1998), History of the Hindu Religious Endowments in Andhra Pradesh, ISBN978-8172110857, hlm. 128
^Kota Neelima (2012), Tirupati, Random House, ISBN978-8184001983, hlmn. 50-52; Prabhavati C. Reddy (2014), Hindu Pilgrimage: Shifting Patterns of Worldview of Srisailam in South India, Routledge, ISBN978-0415659970, hlm. 190
^SK Aiyangar, Ancient India: Collected Essays on the Literary and Political History, Asian Educational Services, ISBN978-8120618503, hlmn. 158-164
^ abBurton Stein, The Economic Function of a Medieval South Indian Temple, The Journal of Asian Studies, Jld. 19 (Februari, 1960), hlmn. 163-76
^Burton Stein (4 Februari 1961), The state, the temple and agriculture development, The Economic Weekly Annual, hlmn. 179-187
^Padma (1993), The Position of Women in Mediaeval Karnataka, Prasaranga, University of Mysore Press, hlm. 164
^Abbe Dubois and Henry Beauchamp (2007), Hindu Manners, Customs and Ceremonies, ISBN978-1602063365, hlmn. 223, 483-495
^Maria Heim (2004), Theories of the Gift in South Asia: Hindu, Buddhist, and Jain Reflections, Routledge, ISBN978-0415970303, hlmn. xv-xxvi, 141-149 dan bab 2