Daluang atau jeluang adalah sebutan untuk tumbuhan Broussonetia papyrifera maupun produknya, yang berupa lembaran dari pepagan (kulit kayu) yang dipakai sebagai bahan untuk berbagai keperluan. Pepagan daluang yang diawetkan dipakai di Jawa, di Kalimantan, serta di Polinesia sebagai semacam kulit: untuk bahan pakaian, pelapis, serta bahan tas. Penggunaan untuk busana juga ditemukan di Polinesia. Kertas yang dibuat dari kulit kayu ini digunakan sebagai pengganti media tulis dan gambar di Jawa dan beberapa pulau lain. Banyak naskah kuna Nusantara menggunakan daluang (disebut sebagai "kertas Ponoragan" atau javaansche van Panaragan papier)[3] sebagai media penulisannya di saat kertas modern belum diperkenalkan. Kertas daluang yang diperkeras dipakai dalam wayang beber sebagai media untuk menggambar.
Sejak 2014, kertas daluang maupun pakaian kulit kayu daluang telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang disahkan pada tanggal 8 Oktober 2014 dengan SK Mendikbud Nomor 270/P/2014[4][5]
Tumbuhan penghasil
Broussonetia papyrifera Vert., syn.Morus papyrifera L. adalah jenis tumbuhan berbunga anggota suku ara-araan atau Moraceae; masih satu kelompok dengan beringin, bodhi, loa, serta murbei (mulberry, sehingga dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai paper mulberry). Asal alaminya dari Asia daratan,[6] mencakup Taiwan, Tiongkok, Jepang, Korea, Indochina, Burma, dan India.[7] Karena pemanfaatannya, tumbuhan ini telah dibudidaya ke berbagai tempat, seperti Asia Tenggara maritim (Nusantara), Polinesia, dan belakangan juga ditanam di sebagian Eropa, Amerika Utara[7] dan Afrika[8] yang iklimnya mendukung.
Daluang dikenal dengan beberapa nama di Indonesia: saéh (Sunda), sepukau, dlubang (Madura), kembala (Sumba) dan malak (Seram).[9][10]. Dalam tapa cloth tree ("pohon pakaian tapa", tapa adalah nama dalam bahasa Hawaii).
Bahan pakaian daluang
Dari kulit kayu pohon yang sama dapat dibuat juga pakaian kulit kayu yang dikenakan sejumlah kelompok etnikAustronesia (misalnya masyarakat Dayak dan Polinesia). Di Polinesia bahan pakaian ini disebut kain tapa.
Di Jawa, para pendita di masa Kerajaan Medang (Mataram Hindu) mengenakan busana dari kulit kayu daluang[butuh rujukan].
Kertas daluang
Kertas daluwang (dalam bahasa Jawa, kata dluwang pernah menjadi padanan untuk kertas) adalah kertas yang dibuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar. Kertas ini digunakan oleh masyarakat di Indonesia khususnya di pulau Jawa telah ada sejak abad ke-7 di Ponorogo yang kemudian berkembang pesat pada periode sejarah Islam, sebagai pengganti kertas lontar yang dulu digunakan sebagai media tulis. Kertas daluang ponoragan telah dipakai untuk menulis naskah kuno kerajaan nusantara, menulis Al-Quran di pesantren,[11] dan bahan baku wayang. Peneliti Belanda, K Heyne dalam bukunya Tumbuhan Berguna Indonesia menyatakan bahwa kulit pohon daluang juga berguna sebagai pakaian.[12]
Di Indonesia khususnya di Jawa pernah dikenal Kertas Jawa atau Kertas Dluwang/Daluwang, kertas ini, kini berkonotasi sebagai kertas daur ulang . Pada masa lalu, kertas dluwang ini digunakan sebagai media tulis menulis selain menggunakan Kertas Lontar, selain itu, kertas yang kemudian dikenal sekarang, pada masa itu diimpor baik dari Cina, Arab maupun Eropa melalui perantara para pedagang baik pedagang Belanda, Eropa, Arab dan Cina yang mengunjungi Nusantara.
Pada tahun 1950-an, daluang menjadi komoditas utama Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo sebagai bahan baku pembuatan kertas gedog yang telah ada sejak pondok Tegalsari berdiri pada era Kolonial. Kertas tersebut dijual kepada seseorang yang kemudian membawanya ke Belanda. Kertas ini dikabarkan digunakan untuk membuat uang kertas di sana.[12]
Referensi
^Shao, Q.; Zhao, L.; Botanic Gardens Conservation International (BGCI); IUCN SSC Global Tree Specialist Group (2019). "Broussonetia papyrifera": e.T49834580A147629611.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)