Consentrasi Gerakan Mahasiswa IndonesiaSingkatan | CGMI |
---|
Tanggal pendirian | 1956 (1956) |
---|
Tanggal pembubaran | 1 November 1965; 59 tahun lalu (1965-11-01) |
---|
Tipe | Organisasi mahasiswa |
---|
Wilayah layanan | Indonesia |
---|
Jumlah anggota (1963) | ± 17.000 |
---|
Afiliasi | Partai Komunis Indonesia |
---|
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) adalah sebuah organisasi mahasiswa di Indonesia yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). CGMI didirikan pada tahun 1956, melalui penggabungan kelompok-kelompok mahasiswa yang dipimpin oleh komunis di Bogor, Bandung dan Yogyakarta (yang telah muncul pada awal tahun 1950-an). Pada saat pendiriannya, CGMI memiliki anggota sekitar 1.180 orang.[1]
Pada awal tahun 1960, CGMI mengeklaim keanggotaannya berjumlah sekitar 7.000 orang. Cabang Yogyakarta dan Bandung mengklaim keanggotaan masing-masing sekitar 1.750 anggota. Organisasi ini mengklaim memiliki 500 anggota di Surabaya, 400 anggota di Malang, dan 300 anggota di Universitas Indonesia di Jakarta. Organisasi mahasiswa saingannya memperkirakan keanggotaan CGMI sekitar 4.000 orang.[1] Pada tahun 1963, CGMI mengklaim keanggotaan sekitar 17.000 orang. Ekspansi ini dapat dijelaskan, setidaknya sebagian, karena perekrutan di berbagai lembaga yang didirikan oleh Partai Komunis (seperti UNRA).[1] Secara resmi sebagai organisasi non-partisan, CGMI adalah satu-satunya gerakan mahasiswa yang terbuka untuk mahasiswa tanpa memandang orientasi politik dan agama. Namun, sebagian besar anggota CGMI adalah pendukung Partai Komunis.[1]
CGMI menjalankan berbagai kampanye sosial dan politik. CGMI berkampanye menentang imperialisme (Belanda, Inggris dan Amerika), mendukung pemerintah nasional melawan pemberontakan PRRI. CGMI menentang keras perpeloncoan terhadap mahasiswa baru.[1] Organisasi ini mengkampanyekan peningkatan tunjangan mahasiswa dan pengurangan harga literatur mahasiswa. Dalam hal budaya, CGMI mengkampanyekan 'budaya rock n' roll' (yang dianggap tidak Indonesia). Organisasi ini juga menyelenggarakan kegiatan olahraga, seperti tenis meja dan bulu tangkis. CGMI juga menyelenggarakan perjalanan wisata untuk mahasiswa.[1]
Hardoyo (Anggota DPR) menjadi presiden nasional CGMI pada tahun 1962.[2][3] Pada paruh pertama tahun 1960-an, bentrokan antara organisasi mahasiswa yang pro dan anti-pemerintah mengguncang banyak universitas di Indonesia. CGMI termasuk dalam kubu pro-pemerintah, mendukung GMNI.[4] CGMI menuntut agar organisasi mahasiswa pro-Masyumi dilarang (Masyumi telah dilarang).[5]
CGMI mengadakan kongres ketiganya tepat sebelum pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada tahun 1965. Soekarno berpidato di depan kongres pada tanggal 29 September 1965.[6] CGMI dilarang setelah pengambilalihan oleh militer.[7][8] Pertama kali "dibekukan" oleh pemerintah pada tanggal 1 November 1965.[9]
Referensi
- ^ a b c d e f Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia, 1951-1963. Berkeley: University of California Press, 1964. pp. 196-197
- ^ Lucas, Anton. What Makes an Activist? Three Indonesian Life Histories
- ^ McGlynn, John. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents, and Images. Jakarta: Lontar Foundation, 2007. p. 15
- ^ Latif, Yudi. Indonesian Muslim Intelligentsia and Power. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008. p. 301
- ^ Crouch, Harold A. The Army and Politics in Indonesia. Politics and international relations of Southeast Asia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1978. p. 165
- ^ Hunter, Helen-Louise. Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story. Westport, Conn. [u.a.]: Praeger Security International, 2007. 95
- ^ McGregor, Katharine E. History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past. ASAA Southeast Asia publications series. Singapore: NUS Press, 2007. p. 230
- ^ Choi, Jungug. Governments and Markets in East Asia: The Politics of Economic Crisis. London: Routledge, 2006. p. 29
- ^ Lev, Daniel S., and Ruth McVey. Making Indonesia: [Essays on Modern Indonesia in Honor of George McT. Kahin]. Studies on Southeast Asia, no. 20. Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program, Cornell University, 1996. p. 131