Central Omega Resources
PT Central Omega Resources Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: DKFT) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perdagangan dan pemrosesan nikel. Berkantor pusat di Plaza Asia, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan,[1] perusahaan ini tercatat sempat mengganti nama dan bidang usaha yang digelutinya sejak awal berdiri. Manajemen
Pemegang saham
Anak usaha
Keterangan: *) tandanya belum beroperasi.[1] PT Mulia Pacific Resources memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari 2011-2031 di Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah seluas 4.780 ha. PT Itamatra Nusantara memiliki IUP dari 2012-2032 di Petasia, Morowali Utara seluas 974 ha. Dan PT Bumi Konawe Abadi IUP dari 2009-2027 di Sawa, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara seluas 438,6 ha. Sedangkan PT COR Industri Indonesia memiliki smelter di Petasia, Morowali Utara, sekompleks dengan PT Mulia dan PT Itamatra.[1] SejarahDuta Kirana FinanceCentral Omega Resources awalnya merupakan sebuah perusahaan pembiayaan, didirikan pada 22 Februari 1995 dengan nama PT Duta Kirana Finance.[1] Perusahaan ini kemudian mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Surabaya pada 21 November 1997, melepas 40% sahamnya dengan harga Rp 500/per lembar saham.[6][7] Kode emitennya diberi nama DKFT, yang berasal dari singkatannya saat itu, dan masih dipertahankan hingga kini. Duta Kirana sendiri awalnya merupakan perusahaan yang terkait dengan Gobel Group,[8] dan asetnya pada 1998 mencapai Rp 99 miliar.[9] Pada Juni 2004, Duta Kirana Finance diakuisisi oleh PT Sanex Qianjiang Motor Int'l Tbk untuk menjadi anak usahanya, sebagai langkah untuk memperkuat penjualan dan pemasaran sepeda motor Sanex.[10] Selain melayani pembiayaan konsumen, Duta Kirana juga menawarkan jasa anjak piutang dan sewa guna usaha (leasing). Akan tetapi, rupanya kepemilikan oleh PT Sanex gagal meningkatkan kinerjanya, karena bisnis motor perusahaan tersebut kemudian menurun pada akhir 2000-an, sehingga sejak 2006 Duta Kirana Finance tidak memberikan jasa pembiayaan baru lagi.[11] Duta Kirana pun kemudian terjerat hutang ke Tapildo Investment Ltd. sebanyak Rp 24,3 miliar yang tidak kunjung usai,[12][13] dan merugi dari 2006-2008 yang naik dari Rp 775 juta menjadi Rp 2,6 miliar.[11] Akhirnya, karena masalah tersebut, sejak 2 Juni 2009 Bapepam-LK resmi mencabut izin pembiayaan perusahaan ini.[14] Central Omega ResourcesPada 7 Desember 2008, pihak Duta Kirana Finance resmi mengumumkan niatnya untuk melakukan perubahan bisnis. Direncanakan, Duta Kirana akan mengakuisisi saham PT Mulia Pacific Resources dan PT Mega Buana Resources yang memiliki PT Bumi Konawe Abadi (pemegang konsesi pertambangan nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara namun masih dalam tahap pra-operasional) senilai Rp 5,1 miliar. Lewat skema konversi hutang menjadi saham, PT Jinsheng Mining (sebuah perusahaan eksportir mineral dan tambang) akan meningkatkan kepemilikannya di Duta Kirana dari 16,15% menjadi 50,14%.[11] Jinsheng sendiri merupakan perusahaan patungan antara Jin Chuan Group China Ltd. (perusahaan perdagangan nikel dan kobalt terbesar di Tiongkok),[15] dengan PT Danpac Resources Kalbar yang dimiliki Kiki Hamidjaja dan Yoevan Wiraatmaja.[1] Untuk memuluskan rencana ini, terhitung akhir 2008 Duta Kirana melepas bisnis pembiayaannya, beralih ke usaha perdagangan dan pertambangan, dan pada 19 Maret 2009 resmi mengganti namanya menjadi PT Central Omega Resources Tbk.[16][17] Maka, kemudian dengan skema yang bisa disebut backdoor listing ini, Central Omega Resources telah memiliki usaha perdagangan dan hak konsesi pertambangan nikel (6 konsesi, seluas 60,2 hektar).[12] Dalam waktu yang cukup cepat, proses tersebut berhasil memperbaiki keuangan perusahaan ini. Melalui tambang nikel di Konawe dan Morowali, pada tahun 2011 Central Omega Resources telah menambang nikel sebesar 1,4 juta ton, yang kemudian naik menjadi 3 ton/tahun.[1] Akuisisi juga dilakukan pada PT Ita Matra Nusantara pada 10 Januari 2012, sebuah perusahaan yang juga memegang konsesi tambang nikel di Konawe. Dalam periode itu juga, Central Omega sudah melakukan rights issue di akhir 2011 sebesar Rp 983 miliar, yang digunakan sebagai dana persiapan pembangunan smelter nikel demi mengantisipasi kebijakan pemerintah secara patungan. Pendapatan Central Omega mencapai Rp 475 miliar dan 792 milyar di tahun 2012 dan 2013.[18][19] Aksi-aksi korporasi ini sempat membuat harga sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) naik (dan sempat disuspensi perdagangannya).[20] Smelter yang direncanakan tersebut, diperkirakan dibangun pada tahun 2014 dengan kapasitas produksi 100.000 ton, dan ditingkatkan menjadi 200.000 ton pada 2015, dibangun dengan modal US$ 300 juta.[21] Kemudian, target ini direvisi menjadi mulai beroperasi pada 2015, dengan kapasitas awal 40.000 ton menggunakan sistem tanur tiup dan menghasilkan nickel pig iron. Central Omega (lewat PT COR Industri Indonesia) menggandeng Asiazone Co Ltd, anak usaha E United Group (perusahaan stainless steel terbesar di Taiwan) untuk membentuk perusahaan patungan PT Yieh United Omega untuk merealisasikan pembangunan smelter tersebut (kemudian dibatalkan dan diganti PT Macrolink Omega Adiperkasa, patungan bersama Macrolink Resources Development and Investment Co. Ltd., Tiongkok pada 2015).[1] Tidak hanya itu, Central Omega juga berencana untuk membentuk perusahaan patungan lain. Meskipun demikian, transisi ke ekspor ke perusahaan smelter ini sempat memengaruhi kondisi Central Omega Resources. Sejak 12 Januari 2014, Central Omega harus menghentikan ekspor nikelnya, yang membuat tambangnya harus ditutup sementara dan karyawannya di-PHK sebesar 2.000 orang.[22][23] Peristiwa ini tercatat sempat membuat perdagangan sahamnya disuspensi kembali oleh BEI.[24] Smelter itu akhirnya baru dibangun pada Juni 2015, dan selesai pada awal 2017.[1] Mulai berproduksi sejak Maret 2017, smelter ini membuat Central Omega bisa meningkatkan kembali bisnisnya yang mencatatkan keuntungan Rp 56,33 miliar, dan target produksi naik dari 300.000 ton menjadi 1 juta ton. Pendapatan dan laba bersihnya juga diharapkan naik menjadi Rp 1,23 triliun dan Rp 117 miliar. Ditargetkan, smelter kedua akan segera dibangun yang diperkirakan selesai pada akhir 2019, dengan investasi Rp 7 triliun.[25] Ekspor perdana hasil produksi Central Omega ke Macrolink dimulai pada Juni 2017 sebesar 7.000 ton nikel.[26][27] Guna membantu operasionalnya juga, pada tanggal 6 Februari 2014, Central Omega mengakuisisi PT Citra Sindo Utama, sebuah perusahaan tambang bijih besi.[28] Secara umum, dapat dikatakan bahwa kondisi keuangan perusahaan ini masih naik-turun, dengan pada 30 Juni 2020 mencatatkan rugi Rp 85 miliar[29] dan kemudian mendapat untung Rp 2,53 miliar (dari pendapatan Rp 764,95 miliar) pada September 2021. Pendapatannya didapat baik dari pembelian lokal maupun ekspor dengan persentase hampir setara.[30] Di tahun 2020 juga, pendapatan tahunan Central Omega mencapai Rp 1,14 triliun.[31] Pada awal 2022 juga, sebagai langkah memperkuat bahan baku, lewat anak usahanya PT Mulia Pacific Resources, telah diakuisisi 75% PT Afit Lintas Jaya (sebuah perusahaan batu kapur) seharga Rp 10 miliar.[5] Meskipun demikian, rencana ekspansi pembangunan smelter kedua yang ditargetkan selesai pada 2023,[1] dan rights issue Rp 2,4 triliun yang ditargetkan untuk membiayai smelter tersebut masih tertunda karena pandemi COVID-19 dan belum adanya mitra strategis.[32][33] Rujukan
Pranala luar |