Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Cempedak

Cempedak
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo: Rosales
Famili: Moraceae
Genus: Artocarpus
Spesies:
A. integer
Nama binomial
Artocarpus integer

Cempedak adalah tanaman buah-buahan dari famili Moraceae. Bentuk buah, rasa, dan keharumannya seperti nangka, meski aromanya kerap kali menusuk kuat mirip buah durian.

Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, dan menyebar luas mulai dari wilayah Tenasserim di Burma, Malaysia, Thailand, dan sebagian Kepulauan Nusantara: Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua. Juga banyak didapati di Jawa bagian barat.[1]

Dikenal secara luas sebagai cempedak atau campedak, buah ini juga memiliki beberapa nama lokal seperti nanakan(bahasa Ma'anyan), chămpădak (Malayu), towada (Ternate), anahan (Ambon),[2] bangkong (cempedak hutan, bentuk liar di Malaysia),[3] baroh (Kep. Lingga dan Johor), nangka beurit atau campedak (Sunda), nongko cino (Jawa), cubadak hutan (Minangkabau) tiwadak (Banjar), dan lain-lain.

Pemerian

Buah cempedak di pohon

Pohon yang selalu hijau, sedang besarnya, tingginya dapat mencapai 20 m meski kebanyakan hanya belasan meter. Ranting-ranting dan pucuk dengan rambut halus dan kaku, kecokelatan. Berumah satu (monoecious).[1]

Isi di dalamnya

Daun tipis agak kaku seperti kulit, bertangkai, bulat telur terbalik sampai jorong, 2,5–5 × 5–25 cm, bertepi rata (integer, utuh), dengan pangkal berbentuk pasak sampai membulat, dan ujung meruncing (acuminate). Tangkai daun 1–3 cm. Daun penumpu bulat telur memanjang, meruncing, berambut kawat, mudah rontok, dan meninggalkan bekas berupa cincin pada ranting.[1]

Perbungaan sendiri-sendiri, muncul di ketiak daun, pada cabang besar atau pada batang utama (cauliflory), pada pucuk pendek khusus yang berdaun. Karangan bunga jantan berbentuk bongkol seperti gada atau gelendong, 1 × 3–5,5 cm, hijau pucat atau kekuningan, bertangkai 3–6 cm. Bongkol bunga betina berbentuk gada memanjang, dengan bunga-bunga yang tertancap sedalam 1,5 mm dalam poros bongkol dan bagian bebas sekitar 3 mm.[1]

Buah semu majemuk (syncarp) berbentuk silinder sampai bulat, 10–15 × 20–35 cm, kehijauan, kekuningan sampai kecokelatan, dengan tonjolan piramidal serupa duri lunak yang rapat atau licin berpetak-petak dengan mata faset. 'Daging buah' sesungguhnya adalah perhiasan bunga yang membesar dan menebal, putih kekuningan sampai jingga, manis dan harum, bertekstur lembut, licin berlendir di lidah, dan agak berserat. Tidak seperti nangka, keseluruhan massa daging buah beserta bunga-bunga steril atau gagal (dikenal sebagai 'dami') mudah lepas dari poros ('hati') buah semu apabila masak. Biji bulat gepeng atau memanjang, 2–3 cm.[1]

Hasil dan kegunaan

Cempedak dijual di tepi jalan Muara Lawa, Kutai Barat, Kalimantan Timur
Cempedak di pasar buah

Buah dimakan dalam keadaan segar atau diolah terlebih dulu. Daging buah cempedak, kadang-kadang beserta bijinya sekali, diberi tepung, gula atau garam, dan digoreng, dijadikan camilan minum teh atau kopi. Bijinya dapat digoreng, direbus atau dibakar, sebelum dimakan dengan campuran sedikit garam. Buah mudanya, sebagaimana nangka muda, dapat dijadikan sayur.[1]

Kayunya berkualitas baik, kuat, dan awet, sehingga kerap digunakan sebagai kayu bangunan, bahan perabotan rumah, atau bahan perahu. Kulit kayunya yang berserat dapat digunakan sebagai bahan tali, dan getahnya untuk memukat burung. Dari kayunya juga dapat dihasilkan bahan pewarna kuning.[1]

Di Kalimantan, cempedak atau bahasa Banjar-nya tiwadak, selain dikonsumsi daging buah dan bijinya, kulitnya pun dapat diolah menjadi makanan. Kulit cempedak sendiri biasanya dikonsumsi masyarakat luas sebagai salah satu lauk dengan diolah secara dimasak tumis atau digoreng yang dinamakan mandai atau ada juga yang menyebutnya dami. Mandai dibuat dengan cara mengupas kulit buah sampai terlihat putih kemudian direndam dengan air garam untuk mengawetkan dan melunakkan teksturnya. Rendaman dapat dilakukan selama beberapa jam bahkan hingga sebulan. Mandai biasanya dikonsumsi dengan menggorengnya hingga kecokelatan.

Ekologi

Secara alami, cempedak liar banyak dijumpai di hutan hujan dataran rendah, baik hutan primer maupun sekunder. Tumbuh hingga ketinggian sekitar 1000 mdpl, pohon buah ini menyukai daerah-daerah dengan musim kering yang tidak tegas, lahan dengan permukaan air tanah yang dangkal, dan bahkan tahan sesekali tergenang banjir.[1]

Cempedak biasa ditanam di pekarangan, kebun campuran, sampai ke wanatani kompleks, yang tidak jarang meliar menjadi hutan sekunder.[butuh rujukan] Secara alami, cempedak dapat mengadakan perkawinan silang dengan nangka.[4]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h Jansen, P.C.M. 1997. Artocarpus integer (Thunb.) Merr. dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA – Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.
  2. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 305. ISBN 9786022584698. 
  3. ^ Ahmad, H.F. 2010. Biji bangkong menyelerakan[pranala nonaktif permanen]. Utusan Malaysia, 11/02/2010
  4. ^ Gunawan, H., dkk. (2019). Partomiharjo, Tukirin, ed. 100 Spesies Pohon Nusantara: Target Konservasi Ex Situ Taman Keanekaragaman Hayati (PDF). Bogor: IPB Press. hlm. 36. ISBN 978-602-440-771-1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-02-08. Diakses tanggal 2023-05-17. 
Kembali kehalaman sebelumnya