Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (soméah, seperti dalam falsafah soméah hadé ka sémah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya masyarakat Sunda.
Budaya Sunda
Etos budaya
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu diantaranya adalah:
Cageur, artinya adalah sehat, yang mana sehat secara jasmani serta rohani, sehat dalam berpikir, sehat dan mempunyai pendirian, sehat secara moral, sehat dalam bekerja dan bertutur kata.[1]
Bageur, artinya adalah baik, baik terhadap sesama, banyak memberikan bantuan berupa pikiran, moral yang baik maupun materi, tidak pelit terhadap sesama, tidak emosianal hatinya, penolong serta ikhlas menjalankan dan mengamalkan tidak hanya dibaca atau diucapkan saja.
Bener artinya benar atau tidak bohong, tidak asal-asalan dalam melaksanakan pekerjaan, amanat, lurus dalam menjalankan agama, memimpin dengan baik, serta tidak merusak alam.[1]
Singer, artinya adalah mawas diri, teliti dalam bekerja, mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri, menghargai pendapat orang lain, penuh kasih sayang, tidak marah saat dikritik namun diterima dengan lapang dada.[1]
Pinter, artinya cerdas, mengerti ilmu agama sampai ke dasar, bisa menyesuaikan diri dengan sesamanya, bisa menyelesaikan masalah dengan bijaksana, serta tidak berprasangka buruk terhadap orang lain.[1]
Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, tetapi ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan ditujukan untuk kebaikan di alam semesta.
Nilai-nilai budaya
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.
Kesenian
Budaya Sunda memiliki banyak kesenian, diantaranya adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, wayang golek, permainan anak-anak, dan alat musik serta kesenian musik tradisional Sunda yang bisanya dimainkan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas Sunda yang menampilkan 2–4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari. Sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acara khitanan. Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita pewayangan. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan. Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik. Tarian Ketuk Tilu, sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas sunda yaitu, angklung, degung, rampak kendang, suling, kacapi, goong, calung, tarawangsa, toleat, tarompét adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu yang unik enak didengar. Angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia. Rampak kendang adalah beberapa kendang (instrumen musik tradisional Sunda) yang dimainkan bersama secara serentak. Seni Reak (kuda lumping) adalah sebuah pertunjukan yang terdiri dari empat alat musik ritmis yang berbentuk seperti drum yang terbuat dari kayu dan alas yang di pukul terbuat dari kulit sapi, yang di sebut dog-dog yang ukurannya beragam yaitu Tilingtit (ukuran kecil), Tung (lebih besar dari Tilingtit), Brung (lebih besar dari Tung), Badoblag (lebih besar dari Brung).
Ditambah oleh 1 alat musik ritmis bernama bedug yang dipikul dua orang dan ditambah lagi oleh satu alat musik melodis berupa Tarompet yang terbuat dari kayu yang melantunkan musik sunda sampai dangdut yang terkadang di temani seorang sinden. Seni reak ini menampilkan atraksi transendensi dunia metafisika ke dalam dunia profan yang disebut (kaul atau jadi, hari jadi) dan atraksi dari Bangbarogan. Bangbarongan adalah sebuah kostum yang digunakan oleh orang yang sedang kaul, terbuat dari kayu yang berbentuk kepala besar bertaring dan berwarna merah ditambah karung goni untuk menutupi tubuh sang pemakai. Asal kesenian ini mulanya berasal dari daerah Rancakalong, Kabupaten Sumedang, hingga sampai saat ini kesenian tersebut mulai menyebar di daerah Sumedang lain nya, hingga ke beberapa daerah di Bandung Timur.
Sebaran geografis
Secara geografis, Jawa Barat (dengan Banten) adalah tempat lahir dan tumbuhnya kebudayaan Sunda, Jawa Barat juga merupakan salah satu daerah di kepulauan Kepulauan Sunda.[2] Daérah Jawa Barat sebagai tempat yang dihuni oleh suku sunda, menghasilkan banyak hal dalam segala aspek seperti teknologi, sistem persaudaraan, bahasa, kesenian, agama serta ilmu pengetahuan.[2]
Wilayah geografis budaya orang Sunda terdiri dari beberapa aspek.
Alam Parahyangan, di mana tempat tinggalnya Hyang atau Dewa yang dipercaya bagi orang Sunda, selain itu juga menunjukan keindahan alamnya.
Bumi Pasundan, di mana penduduk orang Sunda tinggal dengan bahasa, budaya dan adatnya yang biasa disebut sebagai Nyunda.
Bertani bagi masyarakat Sunda bukanlah hal yang asing, karena dalam budaya masyarakat Sunda, pekerjaan utamanya adalah bertani. Pertanian telah berkembang selama berabad-abad dalam masyarakat Sunda, dari zaman dahulu perilaku pertanian telah dipraktekkan oleh masyarakat Sunda, karena kondisi alamnya menyediakan segala kebutuhan sebagai penunjang kehidupan. Tentunya, semua kegiatan membutuhkan berbagai peralatan khusus, begitu pula di bidang pertanian. Alat yang dibutuhkan antara lain:
Arit adalah alat yang digunakan untuk memotong rumput atau cangkul, terbuat dari besi yang dicampur dengan baja dan kayu sebagai pegangannya, berbentuk seperti gergaji tetapi tidak terlalu keras. Sabit memiliki fungsi untuk menghancurkan semak, gulma dan rerumputan, pada awal membuka lahan baru biasanya menggunakan sabit.[3]
Asahan, adalah batu khusus yang digunakan untuk mengasah pisau, golok, dll..[3]
Aseuk, bentuk aseuk adalah kayu bulat panjang, ujung dipoles, alat penggigit, membuat batang kayu kecil untuk menanam biji-bijian seperti jagung, sorgum, buncis, kacang polong dll. Aseuk disebut juga sebagai luju.[3]
Bakrik, Alat dari bambu yang diperoleh dengan jangkar, digunakan untuk pengait rajutan, berfungsi untuk mengevakuasi benda yang terbakar, biasanya mata rantainya terbuat dari besi.[3]
Bawak, Bagian cangkul yang menyambung lingkaran (bagian yang tajam boleh digunakan jika ingin mengasah).[3]
Bedog, adalah alat untuk membelah atau memotong bambu, kayu dan barang lainnya. Terbuat dari besi, susu / gagang menggunakan kayu alumunium. Beberapa bentuk pendek dan beberapa panjang.[3]
Burujul, merupakan bajak yang tidak menggunakan lanjam / mata bajak.[3]
Caplak, adalah alat yang digunakan untuk menanam, berguna untuk mengikis tanah saat membenahi persemaian padi yang lurus. Caplak terbuat dari kayu.[3]
Congkrang, adalah alat yang digunakan untuk menghancurkan rumput atau pohon kecil, dan sebagainya. Terbuat dari besi dan gagangnya terbuat dari kayu atau alumunium. Bentuknya lebih panjang dari sabit, bagian atasnya melengkung.[3]
Étém, adalah sejenis pisau yang dibuat khusus untuk memotong susunan padi.[3]
Garpuh, adalah alat yang digunakan untuk mengencerkan tanah.[3]
Garu, adalah alat untuk membajak tanah suatu ladang, berupa sisir tajam, biasanya ditarik oleh kerbau atau sapi secara tunggal atau berkelompok.[3]
Halu, adalah alat petik, terbuat dari kayu bulat.[3]
Koréd, adalah alat pertanian untuk memotong rumput di kebun, terbuat dari besi dan baja, bentuknya mirip sabit tetapi melengkung.[3]
Kujang, merupakan perkakas sejenis golok yang biasa dipakai untuk membersihkan rumput di halaman maupun di perkebunan, serta bisa dipakai untuk membacok, sekarang Kujang digunakan sebagai simbol berbagai organisasi Sunda.[3]
Lalandak, merupakan perkakas yang digunakan di sawah yang ditanam dengan cara digarit (tanam jajar). Disebut juga géréndél atau gilinding.[3]
Lisung, alat untuk menumbuk padi, terbuat dari kayu, memiliki dua lubang yaitu lubang lingkaran dan lubang persegi panjang.[3]
Pacul, adalah alat untuk merestorasi tanah di lapangan, menggali lubang, mengalirkan air, mengaduk, dll. Bawahnya terbuat dari besi atau baja, gagang kayunya ditekuk agar lebih mudah dalam penggunaannya.[3]
Sistem Persaudaraan
Orang Sunda memakai sistem persaudaraan yang bersifat patental.[2] Artinya orang Sunda menganggap saudara kandung melalui dua jalur, baik dari ibu atau dari ayah.[2] Sistem persaudaraan masyarakat Sunda, umumnya umat manusia di dunia ada karena dua faktor yaitu keturunan dan adanya ritual perkawinan. Yang paling penting adalah tingkat hubungan saudara kita berdasarkan perbedaan generasi ketiga kelompok tersebut. Ketiga kelompok yang dimaksud adalah (1) kelompok tetua, orang tua, orang tua yang meliputi aki, kakek nenek, bapak, dan ibu, generasi yang berada pada level yang lebih tinggi dari ego; (2) Kelompok saudara dalam arti sempit adalah saudara-saudara, saudara kandung (saudara kandung pisah ayah atau saudara kandung ibu pisah saudara), yang disebut saudara laki-laki bila lebih tua dan saudara perempuan atau adik ketika lebih muda. Jadi saudara perempuan adalah generasi dengan ego; (3) kelompok anak, yaitu keturunan ego, anak dari ego, laki-laki atau perempuan.[2]
Sistem persaudaraan masyarakat Sunda yang dikenal saat ini memiliki tujuh keturunan, namun pada kenyataannya masyarakat Sunda kuno memiliki sembilan garis keturunan yaitu anak, incu, umpi, cicip, muning, anggasantana, kulasantana, pretisantana, dan witwekas. Saat ini sistem saudara kandung lebih dikenal dengan Pancakaki.[2] Pancakaki adalah sistem yang merepresentasikan hubungan kekeluargaan. Dalam adat istiadat pancakaki memiliki dua arti, arti yang pertama, pancakaki merupakan terdapatnya silsilah seseorang terhadap orang lain, yang sudah berkeluarga atau yang masih kerabat. Misalnya cara pancakaki si Dadap ke si Waru, apakah termasuk ibu, bapak, nenek, aki, emang, tante, anak, kakek, alo, suan, dan sebagainya. Makna kedua pancakaki adalah papayan yang terdapat di masyarakat.[2]