Ia juga dikenal sebagai kakek dari Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.[3]
Riwayat Hidup
Masa awal
Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara.[butuh rujukan] Ia memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen, KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Syaikhona Muhammad Kholil di Bangkalan, dan KH Hasyim Asy'arie di Tebu Ireng, Jombang.[butuh rujukan] Saat belajar tersebut ia juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU[4]
Belajar di Mekkah
Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.[butuh rujukan] Ketika berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah.[butuh rujukan] Di kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.[butuh rujukan]
Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun.[butuh rujukan] Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif.[butuh rujukan] Syansuri menjadi ulama di Denanyar, Jombang.[5] Saat itu, Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.[butuh rujukan]
Pergerakan dan politik
Di sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar.[butuh rujukan] Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU).[butuh rujukan] Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.[butuh rujukan]
Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.[butuh rujukan]
Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).[butuh rujukan] Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971.[butuh rujukan] Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.[butuh rujukan] Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.[butuh rujukan]
Wafat
KH Bisri Syansuri meninggal dunia dalam usia lanjut tahun 1980 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dan dimakamkan di sisi utara Masjid Jami' Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang[6].