Dayak Mali: Suku Dayak Mali, adalah sebutan untuk salah satu suku dayak yang bermukim di kecamatan Balai-Batang Tarang dan sebagian kecil di kecamatan Tayan Hilir kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat. Masyarakat suku Dayak Mali tersebar di 14 kampung di wilayah kecamatan Balai-Batang Tarang dan juga di 7 kampung yang berada di wilayah kecamatan Tayan Hilir. Populasi suku Dayak Mali diperkirakan sebesar 6.963 orang.
Perkampungan di wilayah kecamatan Balai-Batang Tarang, terdiri dari kampung Temiang Mali, Mak Kawing, Tamang, Segalang, Pelipit, Semunsur, Sei Borok, Mungguk Mayang, Titi Benia, Sebual, Kelinsei,Mungguk Lumut, Sepantun, dan Tibung. Sementara itu, di kecamatan Tayan Hilir, terdiri dari kampung Stengko, Kelempu’, Sei Jaman, Meranti, dan Jelimo’.
Dayak Mali
Di luar kabupaten Sanggau, orang Dayak Mali juga terdapat di Binua Angan kabupaten Landak, di Ambawang kabupaten Pontianak dan juga di hilir sungai Kualatn kecamatan Balai Berkuak kabupaten Ketapang yang hidup pada wilayah hunian Setontong Membawang dan Setontong Kelabit.
Asal usul suku Dayak Mali, merupakan migrasi dan kehadiran suku Dayak Mali ada di Batang Tarang kabupaten Sanggau. Penyebaran suku ini diperkirakan terjadi pada tahun 1920. Dari Batang Tarang mereka menggunakan perahu melalui sungai-sungai melakukan perjalanan hingga menyebar ke tempat-tempat hunian mereka sekarang ini. Awalnya migrasi suku Dayak Mali ini untuk mencari tempat dan lahan baru guna membuka lahan pemukiman untuk berladang. Diperkirakan ini terjadi atas dorongan sebuah misionaris di kabupaten Sanggau.
Pada awal kehadiran mereka di tempat mereka sekarang ini, disambut secara adat oleh masyarakat suku Dayak Kualatn yang terlebih dahulu bermukim di wilayah ini. Suku Dayak Kualatn, menyepakati bahwa mereka diperbolehkan mendapat tanah dan membuka lahan untuk perladangan. Tetapi suku Dayak Mali harus mengikuti adat istiadat (hukum adat) suku Dayak Kualatn. Walau begitu, suku Dayak Mali tetap dapat memelihara budaya asli mereka, hanya saja hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat mereka harus mengikuti hukum adat Dayak Kualatn.
Bahasa Mali berbeda dengan bahasa Dayak Kualatn yang mayoritas di wilayah ini, sehingga kebanyakan masyarakat suku Dayak Mali fasih menuturkan bahasa Dayak Kualatn. Oleh karena itu dalam berkomunikasi dengan suku Dayak Kualatn, kebanyakan masyarakat suku Dayak Mali akan menggunakan bahasa Dayak Kualatn. Bahasa Dayak Mali merupakan bahasa yang khas di antara beberapa hunian kelompok suku dayak di sungai Kualatn (Kualatn Hilir).
Tari Perang suku Dayak Mali
Secara kelompok suku, suku Dayak Mali dikelompokkan ke dalam rumpun Dayak Klemantan atau Dayak Darat. Suku Dayak Mali terbagi dalam beberapa sub-suku:
Dayak Mali (bahasa utama/Induk), meliputi kecamatan Balai, Sanggau sampai perbatasan Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau. sebagian daerah Simpang Hulu, Ketapang. Dialek: Bahasa Mali, Beruak, Keneles, Tae
Dayak Mali Peruan, meliputi daerah Sosok, kecamatan Tayan Hulu, Sanggau. Sebagian ada di kabupaten Landak. Dialek: Bahasa Peruan
Dayak Mali Taba, sebagian/sepanjang daerah di kecamatan Balai, Sanggau sampai ke Tayan Hulu. Dialek: Bahasa Taba/Keneles
Dayak Mali Keneles, sebagian kecamatan Balai, Sanggau; sebagian kecamatan Tayan Hilir, Sanggau; sebagian kecamatan Meliau, Sanggau; sebagian kecamatan Toba, Sanggau, Teraju. Dialek: Bahasa Keneles
Suku Dayak Mali sebagian besar menganut Kristen Katolik dan sebagian lain Kristen Protestan. Dari penuturan beberapa orang Dayak Mali, bahwa segelintir orang Dayak Mali masih mempraktikkan agama asli suku dayak yang animisme dan dinamisme. Namun secara umum mengaku dirinya beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Beberapa orang Dayak Mali juga ada yang memeluk Islam, tetapi dikarenakan terjadi pernikahan dengan suku Melayu. Sehingga orang Dayak Mali yang telah memeluk Islam, biasanya tidak mau mengaku sebagai orang dayak lagi, tetapi telah menjadi melayu.
Beberapa tradisi dalam suku Dayak Mali, adalah;
Ngayau, (tradisi memenggal kepala musuh), tradisi ini sudah ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak Mali, karena tidak sesuai dengan ajaran agama manapun, dan terlalu sadis.
Ganjor'ro/Gawai, adalah pesta adat selepas panen atau pesta bersyukur setelah panen padi.
Noton'gh, adalah upacara untuk memberi makan kepada kepala nenek moyang. upacara ini masih terpelihara dengan baik dikampung-kampung tertentu yang memiliki/menyimpan kepala manusia zaman dulu.
Belien'gh (Balian), adalah orang yang bekerja pada upacara adat dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil Jubata sebagai Juru Damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawar dalam upacara adat tersebut.
Ngangkong,Bepamang,Bebayer (Mulang Niat),Berancak, adalah upacara untuk membersihkan kampung dari segala macam perbuatan jahat. berancak biasanya dilaksanakan selama 7 hari.
Masyarakat suku Dayak Mali hidup dalam bidang pertanian. Mereka telah menjalankan tradisi berladang yang merupakan suatu tradisi yang sudah lama ada sejak masa nenek moyang mereka. Pada zaman dahulu nenek moyang suku Dayak Mali adalah nomaden, yang melaksanakan perladangan berpindah. Waktu membuka ladang baru, harus mengadakan perjanjian dengan alam semesta terutama kepada Sisil (penunggu tanah dan ladang). Dahulu mereka percaya bahwa manusia harus memberi makan dan membuat perjanjian agar Sisil tersebut mau pindah ke tempat yang lain.
Jumlah Penduduk dan Agama
Berdasarkan data Profil Perkembangan Penduduk Kabupaten Sanggau Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Maret 2021, jumlah penduduk Kecamatan Balai Kabupaten Sanggau 29.454 jiwa. Adapun data keberagaman pemeluk agama di kecamatan ini dari 29.454 jijwa penduduk, yakni pemeluk Agama Kristen Protestan sebanyak 7.036 jiwa atau 23,89%, Kristen Katolik 18.806 jiwa (63,85%), kemudian Islam 3.254 jiwa (11,05%), kemudian kepercayaan sebanyak 85 jiwa (0,29%), Budha 254 jiwa (0,86%), Konghucu 8 jiwa (0,03%) dan Hindu 11 (0,04%.[1]
Ngayau[2](memotong kepala manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era Orde Baru misalnya peristiwa Sanggau ledo (Kalbar) tahun 1997 dan peristiwa Sampit (Kalteng) tahun 2001. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu di depan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.
Ganjor'ro adalah pesta adat selepas panen atau pesta bersyukur setelah panen padi. suku dayak mali dari kampung ke kampung akan menyelengarakan pesta ini untuk ucapan syukur pada apet kuya'ngh serta agar panenan pada tahun yang akan datang semakin berlimpah. upacara syukur ini dilaksanakan setahun sekali dan pesta syukurnya 3 atau 7 hari lamanya. ganjor'ro mengisyaratkan bahwa setiap orang harus berpesta sampai puas. suku dayak mali berpesta dengan makan-makan dan minum tuak ( sejenis minuman tradisional) sampai mabuk atau sering ada acara lomba besompok( bertanding minum minuman tuak) siapa yang tahan maka dialah pemenangnya.
Upacara notonkg atau Noton'gh adalah upacara untuk memberi makan kepada kepala nenek moyang. upacara ini masih terpelihara dengan baik dikampung-kampung tertentu yang memiliki/menyimpan kepala manusia zaman dulu. Upacara ini hanya berlangsung setahun sekali atau bila ada kejadian yang kurang baik dikampung
Balian adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil jubata sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawar dalam upacara adat tersebut.
berancak adalah upacara untuk membersihkan kampung dari segala macam perbuatan jahat. berancak biasanya dilaksanakan selama 7 hari. adapun pantang yang harus dijalankan oleh orang dayak mali pada saat itu adalah: dilarang makan udang, terasi, ikan seluang (sejenis ikan air tawar dikalimantan), pakis dan rebung ( pucuk mambu), dilarang bernyanyi, bunyikan musik atau kendaraan, dilarang berpergian malam hari,dilarang menumbuk padi pada petang hari. setiap orang yang melangar peraturan tersebut harus membayar denda dan pantang saat itu dianggap batal dan harus diulangi lagi. semua biayanya dibayar oleh orang yang melangar pantang tersebut.
Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari ketan. Hasil dari fermentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi untuk mempererat persaudaraan dan keakraban karena tradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tetapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.
Hukum Dan Hukum Adat
Hukum pemerintah dan hukum adat Dayak.
Wisata Alam
Bukit Tiong Kandang
Bukit Tiong Kandang merupakan salah satu objek wisata alam yang terdapat di Kecamatan Balai. Objek wisata alam ini terletak di Dusun Mangkit dan Dusun Mak Ijing dengan jarak kira-kira 83 kilometer dari kota Sanggau. Menurut legenda, bukit Tiong Kandang berasal dari seekor burung tiong yang berada dalam kandang (sangkar) dan tersangkut di atas tunggul kayu. Burung tiong ini mengumpulkan sampah-sampah dari berbagai jenis sampah yang berada disekitarnya. Lama kelamaan, tumpukan sampah tersebut menjadi tinggi dan membesar hingga membentuk sebuah bukit. Akhirnya, bukit tersebut di beri nama bukit Tiong Kandang.
Tahun 2021 Kecamatan Balai dipercaya oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau menjadi tuan rumah penyelenggara MTQ tingkat Kabupaten Sanggau, maka oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau melalui Dinas Perumahan Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan dibangun Tribun yang digunakan untuk pembukaan dan penutupan kegiatan MTQ tersebut. Tribun tersebut selanjutnya diberi nama Gelora Tiong Kandang disingkat GTK, selanjutnya GTK yang dilengkapi dengan lapangan terbuka ini akan digunakan sebagai Fasilitas Umum.