Babakan SiliwangiBabakan Siliwangi atau yang dikenal disingkat dengan Baksil adalah salah satu kawasan hutan kota di Bandung, tepatnya berada di Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.[1] Lokasi Babakan Siliwangi yang tidak jauh dari pusat kota (berada di utara pusat kota Bandung) membuat Babakan Siliwangi menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang paling terjangkau oleh masyarakat kota Bandung.[1] Keberadaan Babakan Siliwangi sebagai RTH juga membuat kawasan ini menjadi paru-paru kota sekaligus tempat rekreasi bagi masyarakat.[1] Babakan Siliwangi memiliki luas sebesar 3,8 hektar diisi dengan berbagai satwa yang melengkapi ekosistem yang ada.[2] Dalam perjalanannya, pengelolaan Babakan Siliwangi mengalami banyak kontroversi, terutama adanya rencana pengalihan pengelolaan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta yang merencanakan pembangunan yang dapat dikomersilkan.[1] SejarahZaman Penjajahan Belanda dan Jepang: Sebagai Hutan KotaKawasan Babakan Siliwangi merupakan kawasan lembah yang dibentuk Sungai Cikapundung sejak puluhan ribu tahun yang lalu, sehingga banyak masyarakat Bandung yang menganggap kawasan ini dianggap sebagai warisan alam bagi kota Bandung.[3] Pada zaman penjajahan Belanda, kawasan ini sudah ada dan dikenal sebagai kawasan sabuk hijau Kota Bandung dengan nama Lebak Gede.[2] Oleh karena itu, pada tahun 1920, para arsitek perancang kota Bandung merencanakan untuk membuat kawasan ini sebagai hutan kota sekaligus perkebunan terbuka bagi masyarakat umum.[4] Para arsitek tersebut tidak hanya membiarkan kawasan ini sebagai kawasan yang rimbun tetapi juga membuat beberapa fasilitas lain seperti taman botani yang disebut sebagai Tamansari di bagian selatan Lebak Gede dan juga fasilitas kebun binatang, yang saat ini dikenal dengan Kebun Binatang Bandung.[4] Di bagian lain Lebak Gede yang sejajar dengan Jalan Cihampelas, para arsitektur membuat pemandian, taman bunga dan kolam ikan yang kemudian kita kenal dengan Pemandian Cihampelas.[4] Pada masa pendudukan Jepang, ada rencana untuk membangun sebuah museum di kawasan ini tetapi rencana tersebut tidak terealisasi hingga Jepang mengakhiri pendudukannya di Indonesia.[2] Periode 1950an - 1980an: Menuju Upaya KomersialisasiSetelah Indonesia merdeka, maka pengelolaan Lebak Gede dipegang langsung oleh pemerintah kota Bandung.[4] Seiring dengan berkembangnya Bandung menjadi kota yang cukup besar, maka pemerintah kota Bandung mengubah fungsi Lebak Gede menjadi kawasan paru-paru kota.[4] Namun di sisi lain, timbul keinginan, baik dari pemerintah maupun pengusaha untuk melakukan komersialisasi Lebak Gede karena letaknya yang strategis dan dekat dengan pusat keramaian.[4] Akhirnya muncul upaya pengembangan fisik di kawasan ini pada masa pemerintahan Wali Kota Otje Djundjunan (1971-1976).[4] Kawasan Lebak Gede diubah namanya menjadi Lebak Siliwangi/Babakan Siliwangi dan kawasan ini dijadikan objek wisata melalui pendirian restoran Babakan Siliwangi yang menyediakan berbagai macam masakan Sunda.[4] Menyusul, pembangunan beberapa sanggar dan pusat kesenian budaya di kawasan ini guna menunjang fasilitas rekrekasi bagi para turis dan wisatawan.[4] Sanggar ini didirikan atas prakarsa dari seniman Popo Iskandar, Barli, Tony Yusuf serta beberapa seniman lainnya yang akhirnya diresmikan sebagai Sanggar Olah Seni (SOS) pada tahun 1982 oleh Dirjen Pariwisata Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi saat itu, Joop Ave yang akhirnya menjadi Menteri Pariwisata.[5] Periode 1990an - kini: Kontroversi dan Upaya Mengembalikan Babakan SiliwangiDi awal tahun 1990, pembangunan fisik di Kawasan Babakan Siliwangi terus dilakukan dengan dibangunnya Sasana Budaya Ganesha sebagai bagian dari perluasan dan fasilitas Institut Teknologi Bandung.[4] Pada tahun 2001, upaya pembangunan fisik di Babakan Siliwangi terus dilakukan ketika Wali kota Bandung Aa Tarmana, merencanakan pembanguan pusat wisata terpadu di kawasan Babakan Siliwangi.[5] Kawasan wisata terpadu ini rencananya terdiri dari apartemen, pusat perbelanjaan, wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.[5] Bahkan pada saat itu, pemerintah Kota Bandung sudah melaksanakan developer swasta yakni PT Esa Gemilang Indah (EGI) untuk menjalankan rencana tersebut.[5] Rencana itu mengundang berbagai berbagai macam pro dan kontra, ada kelompok yang mendukung mengubah Babakan Siliwangi menjadi tempat pariwisata tetapi ada juga kelompok yang ingin menjaga kawasan Babakan Siliwangi tetap sebagai hutan kota, bukan sebagai tempat wisata.[5] Di tengah kontroversi yang terus terjadi, pada tahun 2003, Restoran Babakan Siliwangi yang sudah ada sejak tahun 1970-an terbakar.[5] Praktis tempat wisata di tempat ini hanya meninggalkan reruntuhan bekas kebakaran serta sanggar seni SOS dan MitraArt Centre[5] Kontroversi kembali muncul menjelang berakhirnya kontrak kerjasama PT EGI dengan pemerintah kota Bandung pada tahun 2008.[6] Masih ada tarik ulur antara pemerintah kota, masyarakat dan juga PT EGI.[6] Di satu sisi ada pihak yang mendukung untuk menata Babakan Siliwangi dengan mendirikan beberapa fasilitas wisata tetapi ada juga pihak yang menentang hal tersebut dan menginginkan Babakan Siliwangi tetap sebagai hutan kota, apalagi tuntutan ini sesuai dengan Undang-Undang yang mengamanatkan agar setiap kota memiliki RTH seluas 30%.[6] Di tengah kontroversi tersebut, pada 27 September 2011, PBB mendeklarasikan Babakan Siliwangi sebagai hutan kota dunia.[2] Pengembangan Babakan Siliwangi KiniPada tanggal 18 Oktober 2013, Pemerintah Kota Bandung melakukan pemutusan kerjasama dengan PT EGI dalam hal pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi sehingga sejak saat itu, pengelolaan Babakan Siliwangi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Kota Bandung.[7] Selanjutnya, Babakan Siliwangi akan dijadikan hutan kota yang bebas diakses oleh masyarakat.[7] Guna mendukung rencana tersebut, pada bulan Februari 2014, Pemerintah Kota Bandung menyelenggarakan sayembara terbuka untuk menata hutan kota Babakan Siliwangi sehingga Babakan Siliwangi dapat menjadi hutan kota berkelas dunia.[8] Referensi
|