Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Awan gempa

Awan gempa adalah awan yang diduga sebagai tanda akan terjadinya gempa bumi. Di zaman modern, beberapa ilmuwan [siapa?] mengklaim dapat memprediksi kejadian gempa bumi secara akurat dengan mengamati awan.[1] Namun, klaim ini hanya mendapat sedikit dukungan dari komunitas seismologi, dan mereka menolak bahwa "awan gempa" hanya sebuah kebetulan semata, bukan tanda-tanda akan terjadinya gempa bumi.[2]

Sejak zaman kuno, gagasan bahwa cuaca dan awan dapat menandakan datangnya aktivitas gempa bumi telah menjadi topik banyak diskusi dan perdebatan. Ahli geologi Russell Robinson menggambarkan "awan gempa" sebagai salah satu metode pseudoscientific yang paling umum dalam memprediksi gempa bumi.[3][4]

Teori ini memunculkan kepercayaan pada "awan gempa", yaitu karena sejumlah besar udara terperangkap di bawah tanah, maka cuaca akan menjadi panas dan tenang sebelum terjadinya gempa. Teori selanjutnya menyatakan bahwa gempa bumi akan terjadi dalam kondisi tenang, berawan, dan biasanya didahului oleh angin kencang, bola api, dan meteor. Sebuah teori modern mengusulkan bahwa formasi awan tertentu dapat digunakan untuk memprediksi gempa bumi; namun, gagasan ini ditolak oleh sebagian besar ahli geologi.[5]

Kontroversi

Sebuah diagram memperlihatkan episenter fokus gempa bumi pada sebuah patahan

Fenomena alam ini walaupun telah diamati oleh Seismologi namun belum dapat diterima secara alamiah karena kurangnya aspek-aspek fisik yang mendukungnya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan, dan klaim ini hanya mendapat sedikit dukungan dari komunitas seismologi, mereka berpendapat bahwa tidak ada kaitannya formasi awan tertentu dengan aktivitas seismik dibawah bumi.[6]

Metode lain prediksi gempa bumi

Pada tahun 1970-an, para ilmuwan optimis bahwa metode untuk memprediksi gempa bumi akan segera ditemukan, namun pada tahun 1990-an kegagalan terus berlanjut dan banyak orang yang mempertanyakan, apakah hal tersebut dapat dilakukan.

Prediksi gempa bumi besar yang terbukti berhasil belum pernah terjadi, dan beberapa klaim keberhasilan masih kontroversial. Misalnya, klaim sukses yang paling terkenal adalah dugaan gempa bumi Haicheng 1975. Sebuah penelitian selanjutnya mengatakan bahwa tidak ada prediksi jangka pendek yang valid. Meskipun sebagian komunitas ilmiah berpendapat bahwa, dengan mempertimbangkan prekursor non-seismik dan diberikan sumber daya yang cukup untuk mempelajarinya secara ekstensif, prediksi mungkin bisa dilakukan, namun sebagian besar ilmuwan pesimis dan beberapa berpendapat bahwa prediksi gempa pada dasarnya tidak mungkin bisa dilakukan.[7]

Metode prediksi hewan

Beberapa peneliti percaya, bahwa perilaku hewan dapat memprediksi gempa bumi.[8] Gempa bumi terjadi, akibat dari (gelombang-P) merambat dua kali lebih cepat dibandingkan gelombang geser yang lebih merusak (gelombang-S). Gelombang tersebut tidak dapat dirasakan oleh manusia, namun hewan menyadari getaran kecil yang muncul beberapa puluh detik sebelum guncangan besar datang, hewan tersebut menjadi waspada atau menunjukkan perilaku tidak biasa lainnya.[9]

Sebuah studi ilmiah pada tahun 2018 yang mencakup lebih dari 130 spesies hewan, tidak menemukan cukup bukti untuk menunjukkan bahwa hewan dapat memberikan peringatan gempa bumi beberapa jam, hari, atau minggu sebelumnya. Statistik lain menunjukkan bahwa beberapa laporan perilaku hewan yang tidak biasa disebabkan oleh gempa bumi yang lebih kecil (gempa awal) yang terkadang didahului oleh gempa besar. Gempa kecil tersebut tidak dapat dirasakan oleh manusia, tapi dapat dirasakan oleh hewan. Namun, beberapa perilaku hewan mungkin bisa secara keliru dikaitkan dengan gempa bumi yang akan terjadi dalam waktu dekat.

Banyak peneliti yang menyelidiki perilaku hewan terhadap gempa bumi berada di Tiongkok dan Jepang.[10] Sebagian besar observasi ilmiah berasal dari gempa bumi Canterbury 2010 di Selandia Baru, gempa bumi Nagano 1984 di Jepang, dan gempa bumi L'Aquila 2009 di Italia.

Hewan yang dikenal bersifat magnetoreseptif mungkin dapat mendeteksi gelombang elektromagnetik dalam rentang frekuensi sangat rendah yang mencapai permukaan bumi sebelum gempa bumi, sehingga menyebabkan perilaku aneh. Gelombang elektromagnetik ini juga dapat menyebabkan ionisasi udara, oksidasi air, dan kemungkinan keracunan air yang dapat dideteksi oleh hewan lain.[11]

Sebelum gempa bumi L'Aquila 2009 di Italia, sejumlah katak menunjukkan perilaku yang tidak biasa, katak-katak tersebut menghilang dari kolam-kolam setempat, tiga hari sebelum gempa tersebut datang.[12] Mereka juga melaporkan bahwa banyak tikus-tikus yang berlarian disepanjang jalan kota, tidak hanya itu, beberapa hewan lain, seperti ikan, kuda, ular, anjing dan hewan mamalia lainnya berperilaku aneh.[13]

Metode emisi radon

Kebanyakan batuan mengandung sejumlah kecil gas yang secara isotop dapat dibedakan dari gas atmosfer normal.[14] Ada laporan mengenai lonjakan konsentrasi gas-gas tersebut sebelum terjadinya gempa bumi besar; hal ini disebabkan pelepasan akibat tekanan pra-seismik atau rekahan batuan. Salah satu gas tersebut adalah radon, yang dihasilkan oleh peluruhan radioaktif dari sejumlah kecil uranium yang ada di sebagian besar batuan.[15]

Radon berpotensi berguna sebagai alat prediksi gempa bumi, karena bersifat radioaktif sehingga mudah dideteksi, dan waktu paruhnya yang pendek (3,8 hari) membuat kadar radon sensitif terhadap fluktuasi jangka pendek.[16]

Metode pengamatan satelit terhadap penurunan suhu tanah

Rekaman satelit dari NASA pada tanggal 6, 21 dan 28 Januari 2001 di wilayah Gujarat, India. Yang ditandai dengan tanda bintang adalah episentrum gempa bumi Gujarat pada 26 Januari berkekuatan 7,9. Rekaman mengungkapkan anomali termal pada 21 Januari yang ditunjukkan dengan warna merah. Pada rekaman berikutnya, 2 hari setelah gempa, anomali termal tersebut hilang.

Salah satu cara untuk mendeteksi tekanan gempa bumi tektonik adalah dengan mendeteksi peningkatan suhu lokal pada permukaan kerak bumi yang diukur dengan satelit. Selama proses evaluasi, latar belakang variasi harian dan kebisingan akibat gangguan atmosfer dan aktivitas manusia dihilangkan sebelum memvisualisasikan konsentrasi tren di area patahan yang lebih luas. Metode ini telah diterapkan secara eksperimental sejak tahun 1995.[17]

Dalam fenomena ini, Friedmann Freund dari NASA telah mengusulkan bahwa radiasi inframerah yang ditangkap oleh satelit bukan disebabkan oleh peningkatan nyata pada suhu permukaan kerak bumi.[18] Menurut versi ini, emisi tersebut merupakan hasil eksitasi kuantum yang terjadi pada ikatan ulang kimiawi pembawa muatan positif (lubang) yang bergerak dari lapisan terdalam ke permukaan kerak bumi dengan kecepatan 200 meter per detik. Muatan listrik tersebut timbul akibat meningkatnya tekanan tektonik seiring dengan mendekatnya waktu gempa. Emisi ini meluas hingga 500 x 500 kilometer persegi untuk kejadian yang sangat besar dan berhenti segera setelah gempa bumi.[19]

Lihat pula

Pranala luar

  1. ^ "A temblor from ancient Indian treasure trove?". The Times of India. 28 April 2001. 
  2. ^ Robinson, Russell (14 November 2002). Michael Shermer, ed. The Skeptic Encyclopedia of PseudoscienceAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. ABC-CLIO. hlm. 96. ISBN 1-57607-653-9. 
  3. ^ "Is there earthquake weather?". FAQs – Earthquake Myths. U.S. Geological Survey (USGS). 
  4. ^ Curious cloud formations linked to quakes New Scientist, 11 April 2008. Accessed 2009-02-25.
  5. ^ "Curious cloud formations linked to quakes"Perlu langganan berbayar. New Scientist. 11 April 2008. 
  6. ^ "Curious cloud formations linked to quakes"Perlu langganan berbayar. New Scientist. 11 April 2008. 
  7. ^ Kagan 1997b; Geller 1997; Main 1999.
  8. ^ Animals and Earthquake Prediction
  9. ^ Review: Can Animals Predict Earthquakes?
  10. ^ Freund & Stolc 2013.
  11. ^ Freund & Stolc 2013.
  12. ^ Squires & Rayne 2009; McIntyre 2009.
  13. ^ Alexander 2010, hlm. 326.
  14. ^ ICEF 2011, hlm. 334; Hough 2010b, hlm. 93–95.
  15. ^ ICEF 2011, hlm. 334; Hough 2010b, hlm. 93–95.
  16. ^ Cicerone, Ebel & Britton 2009, hlm. 382.
  17. ^ Genzano et al. 2009.
  18. ^ Genzano et al. 2009.
  19. ^ Genzano et al. 2009.
Kembali kehalaman sebelumnya