Abdulmadjid Djojoadiningrat
Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (aksara Jawa : ꦄꦧ꧀ꦢꦸꦭ꧀ꦩꦗꦶꦢ꧀ꦗꦺꦴꦪꦺꦴꦮꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀, 5 Januari 1904 – 1 Januari 1977) merupakan Mantan Wakil Menteri Muda Sosial, Wakil Menteri Dalam Negeri dan Perburuhan Kabinet Sjahrir,[1][2] Wali kota Semarang (7 Januari 1958-1 Januari 1960),[3] sekaligus Anggota Konstituante dari PKI dan pengurus awal Partai Sosialis Indonesia (PSI).[4][5][6] Dia dikenal juga sebagai anak tiri dari R.A. Kartini.[7] Selain itu, dia juga dikenal sebagai salah satu anggota Perhimpunan Indonesia (PI) bersama dengan Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Ali Sastroamidjojo[8][9] dan sebagai pelaku peristiwa Pemberontakan Madiun 1948.[10] Riwayat HidupKetika Abdulmadjid dilahirkan, ibu tirinya (R.A. Kartini) telah meninggal dunia dan telah memiliki seorang adik tiri bernama Soesalit.[11] Karena dia anak seorang bupati di zaman kolonial, dia bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hogereburger School (HBS) di Kota Semarang. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS dan HBS pada tahun 1925, ia kemudian kuliah di Universitas Leiden, Belanda dengan mengambil jurusan hukum.[11] Kehidupan di Belanda dan EropaDi Belanda, Abdulmadjid kerap menyuarakan pendapatnya antara lain menuntut kesetaraan antara orang Belanda dan Indonesia. Sejak awal 1926 setidaknya Abdulmadjid sudah menjadi sekretaris Hatta yang memimpin Indische Vereniging alias Perhimpunan Indoenesia (PI). Bersama Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo serta Nazir Pamuncak, Abdulmadjid ditangkap pada 23 September 1927 akibat aktivitas politiknya yang dianggap ekstrem saat itu.[11] Menurut memoar Ali Sastroamidjojo Tonggak-tonggak di Perjalananku (1974) , “Di rumah penjara kami masing-masing ditutup dalam sel kecil berukuran kurang lebih 2x3 meter. Hatta mendapat sel nomor 1, Nazir Pamuncak sel nomor 7, saya (Ali Sastroamidjojo) sel nomor 14 dan Abdulmadjid sel nomor 55. Jadi kami tidak bisa saling berhubungan”. Abdulmadjid dituntut hukuman 2 tahun penjara oleh Bengadilan Belanda itu. Selama masa-masa persidangan (dan penahanan) mereka didampingi oleh Mr. Tj. Mobach, Mr. JEW Duys, dan Nona Mr. L. Weber. Meskipun berada di dalam penjara, Ali Sastroamidjojo mendapat izin keluar untuk ujian dan lulus. Mereka semua akhirnya dibebaskan pada 22 Maret 1928.[11] Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997) mencatat bahwa Abdulmadjid belakangan memilih melanjutkan studinya. Menurut Harry A. Poeze, setelah dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan, Abdulmadjid memilih diam selama beberapa tahun di Belanda . Meskipun dicap kaku terkait status dirinya sebagai anak bupati oleh kawan-kawannya, Abdulmadjid yang kemudian menjabat sebagai ketua PI setelah Hatta mundur dianggap "membuat PI menempuh haluan komunis dan membuat jalinan erat dengan Partai Komunis Belanda (CPH).” Menurut Harry A. Poeze dalam bukunya Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), selama kurun waktu dekade 1930, Abdulmadjid dianggap sebagai bagian dari diaspora PKI ilegal di Eropa. Jika Abdulmadjid di Eropa jadi aktivis kiri yang melawan Pemerintah Belanda, berkebalikan dengan adik tirinya Soesalit yang justru menjadi bagian birokrasi kolonial sebagai mantri PID. Sebagai catatan, jika seseorang menjadi aktivis kiri pada dekade 1930-an di Indonesia, dia akan ditangkap polisi rahasia kolonial bernama PID.[11] Menurut Poeze, sejak akhir 1931 Abdulmadjid meninggalkan Negeri Belanda dan diperkirakan tinggal di Moskow, Uni Soviet. Dia menjadi propagandis sebuah biro PKI di Eropa. Melalui bacaan, dia berusaha mempengaruhi kaum pengangguran, pemuda, juga pelaut. Akan tetapi, pada 12 Juni 1936 dia terlihat berpidato dalam acara PI di Negeri Belanda. Hingga tahun 1938 dia memegang kendali redaksi majalah Suara Dari Indonesia. Setelah itu, Abdulmadjid juga mengurus majalah Inpressa. Terkait kuliahnya, dia baru menyandang gelar sarjana hukumnya: Meester in Rechten (Mr) di tahun 1940 sama seperti Nazir Pamoentjak.[11] Selama pendudukan Tentara NAZI Jerman di Negeri Belanda, Abdulmadjid masih berada di Belanda. Pada kurun waktu 1943-1944, dia aktif di Kolonial Instituut dan pernah menjadi penasehatnya. Bersama G. Gonggrijp, dia menyusun monografi tentang Sulawesi di bawah pengawasan mantan Gubernur Sulawesi Dr. LJJ Caron. Abdulmadjid juga ikut bermain sandiwara dengan lakon-lakon cerita dari Indonesia. Uang hasil pertunjukan itu diberikan kepada gerakan perlawanan bawah tanah PI. Abdulmadjid terbiasa berkeliaran tanpa menggunakan nama palsu seperti Tan Malaka.[11] Koran Belanda De waarheid (03/01/1977), menyebut bahwa “ dia adalah seorang pejuang perlawanan (melawan tentara Jerman) di 1940-1945 kelompok anggota (gerakan perlawanan bersenjata) Suropati”.[11] Kehidupan di IndonesiaSetelah Indonesia merdeka dan Republik Indonesia terbentuk, Abdulmadjid pulang ke Indonesia. Kebetulan kawan lamanya yang hanya dua tahun di Negeri Belanda dan pernah mampir belajar di Leiden, Sutan Syahrir, menjadi Perdana Menteri Republik. Abdulmadjid kemudian dilibatkan Syahrir dalam Kabinet kedua dan ketiganya, sebagai Menteri Muda urusan Sosial sejak 12 Maret 1946 hingga 27 Juni 1947.[11] Setelah kabinet Syahrir III jatuh karena Perundingan Linggarjati, Amir Sjarifoeddin menggantikan Syahrir sebagai perdana menteri. Dalam dua kabinet Amir, selama kurun wakut 3 Juli 1947 hingga 29 Januari 1948, Abdulmadjid menjadi Menteri Muda urusan Dalam Negeri. Menurut koran Belanda De waarheid (03/01/1977), ketika itu Abdulmadjid juga aktif dalam CC PKI. Harry Poeze juga mencatat belakangan dia menjadi anggota Politbiro. Bahkan Anthony Reid sempat mencatat bahwa kedatangan Abdulmadjid bersama Setiadjit dan Maruto Darusman telah memberi semangat untuk melawan fasisme.[12] Ia bahkan sempat terbang ke Medan bersama dengan Amir Sjariffoeddin untuk memulihkan kondisi di sana selepas terjadinya Revolusi Sosial Sumatra Timur meskipun hal tersebut dianggap sebagai "rencana" Inggris.[12] Setelah Amir jatuh, dalam bukunya Madiun 1948, Harry Poeze mencatat Abdulmadjid juga terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk Amir. Bersama Sakirman, Tan Ling Jie, dan Djokosoedjono, dia ditangkap di Yogyakarta dan mengaku tidak tahu sama sekali terkait Peristiwa Madiun (September 1948). Mereka ditahan di Yogyakarta hingga Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Nasib Soesalit adik tirinya yang sudah berpangkat mayor jenderal juga tak kalah malang. Karirnya di militer habis karena dituduh kiri. Abdulmadjid dan beberapa tahanan lain akhirnya melarikan diri.[11] Pasca Penyerahan KedaulatanAdanya rekonsiliasi dan pengampunan kepada orang-orang komunis juga bepengaruh terhadap dirinya. Setelah 1949, Abdulmadjid termasuk yang terbebas. Dia tidak masuk petinggi partai lagi. Pada dekade 1950-an, dia aktif di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan berperan penting sebagai pengacara dalam membela pekerja dalam masalah perburuhan. Selain itu, dia pernah menjadi Anggota Konstituante pada 9 November 1956 hingga 5 Juli 1959, Anggota MPRS tahun 1959 mewakili Golongan Karya dan Wali kota Semarang (1958-1960) pengganti Hadisoebeno.[6][6][11][13] Setelah Peristiwa 30 September 1965, dia kemudian berada di luar negeri (Belanda) dan tinggal di pengasingan hingga wafat pada 1 Januari 1977.[11] Referensi
Tautan Link
|