Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

A.Z.R. Wenas

A. Z. R. Wenas
Ds. A. Z. R. Wenas (Domeni Wenas) / Dei
LahirAlbertus Zacharias Roentoerambi Wenas
(1897-10-28)28 Oktober 1897
Indonesia Tombatu, Sulawesi Utara
Meninggal12 Oktober 1967(1967-10-12) (umur 69)
Indonesia Tomohon, Sulawesi Utara
Pekerjaanpendeta
PasanganMartina Adriana Wenas-Mambu (Non) (1905-1995)
Anak(anak angkat) Meiske Wenas (asal Jepang)
Orang tua
  • Ayah : Lodewijk Wenas (1868-1907) (2 kali menikah)
  • Ibu : Sarah Simban Rambi (Imba/Saartje) (meninggal 1902)
Saudara
  • Kakak: 1. Petrus Lukas Wenas (opa Bro’), (±1895-±1915);
  • Adik: 2. Louisa Sarah Ester Wenas (±1899-±1919);
    3. Herman Jacob Wenas (1901-1974)
  • Adik tiri (dari ibu tiri Poppy Lumanauw): 4. Jan Lambertus Supit Wenas (1906-1979)

Ds. Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas (28 Oktober 1897 – 12 Oktober 1967) adalah seorang pendeta dan tokoh masyarakat Minahasa. Ia menjabat sebagai ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa pada 1942-1967.[1]

Latar belakang

Wenas adalah seorang turunan dari penguasa Tomohon (Mayoor) pada masa Belanda berkuasa di Minahasa. Ayahnya Lodewijk Wenas, adalah Kepala Onderdistrik (Kumarua, Hukum Kedua atau kini Camat) Kakaskasen tahun 1895–1902. Kemudian dipindahkan ke Tombatu sebagai Hukum Kedua Tombatu.

Tokoh dan pendeta karismatik GMIM. Lulus Sekolah Pendeta Theologische School Oegstgeest Belanda 1921. Jadi pendeta di Kumelembuai, lalu direktur sekolah pendeta STOVIL, dan salah-satu pendiri GMIM tahun 1934. Menjadi Ketua Majelis Jemaat Tomohon, Wakil Am BP Sinode, Wakil Ketua Sinode GMIM November 1941. Ketua Sinode GMIM 1942, menolak dipilih lagi 1951, tetapi sidang sinode tetap memilihnya sebagai Wakil Ketua, malah kelak ia menjalankan fungsi Ketua pada tahun 1955. Lalu pada 24 Mei 1957 dipilih lagi sebagai ketua. Hasil-hasil usaha di bidang sosial dan kemanusiaan membuatnya menjadi sangat disegani dan dihormati. Tahun 1946 ia dianugerahi Belanda tanda jasa Officier in the Orde van Oranje Nassau, UKIT memberinya gelar doktor HC atas jasa-jasa di bidang gerejani, sosial, kebudayaan dan lain-lain. Ia juga berperan besar dalam penyelesaian Permesta. Ditawari Presiden Soekarno ke Jakarta, dan Agustus 1959 ditunjuk menjadi anggota DPA, tetapi ditolak dengan alasan dibutuhkan masyarakat. Tahun 1965 turut jadi anggota delegasi DGI ke SR DGD di New Delhi. Dari pemerintah Indonesia tahun 1968 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial.

Ds. Wenas dengan resmi mengambil alih tugas pimpinan dalam kapasitas sebagai wakil Locher, dan kemudian dikukuhkan dalam sidang sinode Mei 1942. Ia menjadi Ketua Sinode GMIM orang Minahasa pertama, dengan Jurutulis H. Goni dan Bendahara Ds. Bertus Moendoeng. Ds. Bertus Moendoeng sempat menjadi Pejabat Ketua Sinode GMIM sementara selama 1 tahun ketika Wenas harus mendampingi istrinya yang sakit. Ia dipilih lagi dalam Sidang Sinode Oktober 1945.

Wenas berperan besar dalam pembukaan gereja-gereja yang ditutup Jepang. Ia menemui dan mendapat keleluasan dari pemerintah militer di Tomohon membuka gereja besar Tomohon, Matani dan Walian tanggal 1 Februari 1942. Gereja besar dihadiri 4 orang, gereja Matani 30 orang dan gereja Walian 25 anggota. Dengan izin pengurus bagian ibadat Nakao, tanggal 31 Mei 1942 diadakannya pertemuan anggota Sinode GMIM di Tomohon. Pertemuannya dengan Ds. Miyahima Hidemasa (kronika GMIM sebut Ds. Myahira) yang berkunjung di Minahasa 16-23 Juni 1942 serta perhimpunan di berbagai gereja GMIM, berpuncak dengan keluarnya maklumat Kepala Urusan Ibadat dan Pengajaran Kodama, atas nama pemerintah membuka rumah-rumah gereja tanggal 4 Juli 1943. Upacara peringatan 8 tahun pendirian GMIM diselenggarakan dengan meriah tanggal 30 September 1934 di gereja Sion dengan dihadiri Kodama dan Nakao.

Wenas menjabat hingga tanggal 26 Juni 1951 dan tidak bersedia dipilih karena ingin mencurahkan tugasnya sebagai Ketua Klasis dan Ketua Badan Pekerja Majelis Gereja (BPMG) Jemaat Tomohon dan usaha-usaha sosialnya. Dipilih sebagai penggantinya Ds. Manuel Sondakh (1951-1955), dengan Wenas tetap dipilih sebagai wakil ketuanya.

Tata Gereja baru dijalankan sejak tahun 1951 yang gunakan bentuk jemaat terdiri dari satu lingkaran beberapa bagian jemaat setempat. Tiap lingkaran jemaat dinyatakan dewasa dalm arti sanggup membiayai pendetanya dan segala keperluan jemaat dan sinode.

Ketika Sondakh terpilih sebagai anggota parlemen pada Pemilu 1955, otomatis sejak tanggal 15 Mei 1956 Wenas menjalankan fungsi ketua sinode lagi. Sidang Sinode yang digelar memilih Ds R.M. Luntungan, tetapi tidak terwujud, karena Sidang gereja Am GPI termasuk GMIM memilih Luntungan menjadi Ketua GPI. Karenanya Wenas ditugasi BPS GMIM memangku jabatan ketua di samping wakil ketua. Kemudian dalam Sidang Sinode berikutnya tanggal 26 Mei 1957 Wenas yang merupakan tokoh berkarisma, dipilih dengan suara bulat sebagai ketua sinode.

Perannya sangat besar ketika pergolakan Permesta dengan menjadi mediator antara pemerintah dengan para tokoh Permesta.

Putra Hukum Kedua Tombatu Lodewijk Wenas yang jadi pendeta sejak tanggal 25 Desember 1921 ini seusai pergolakan Permesta, oleh Presiden Soekarno ditawari menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi ditolaknya, dengan alasan ia lebih diperlukan oleh masyarakat Minahasa.

Wenas memangku jabatannya hingga akhir hayat, dan ketika mangkat tanggal 11 Oktober 1967 dimakamkan di kompleks gereja Sion. Ia merupakan pendiri panti-panti yatim piatu dan orang jompo, balai-balai pengobatan, rumah bersalin, rumah sakit, sekolah mulai TK hingga perguruan tinggi (UKIT). Ratu Juliana dari Belanda memberikan tahun 1946 penghargaan Willems Orde, dan oleh Presiden RI tanda kehormatan Satyalencana Kebaktian Sosial.

Kepemimpinan

Masa-masa kepemimpinan Wenas diwarnai oleh tantangan-tantangan berat yang dihadapi oleh Gereja dan masyarakat Minahasa. Pada tahun 1942, pasukan-pasukan Jepang berhasil mengalahkan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Pada masa yang berat ini Wenas berhasil menjaga hubungan yang cukup baik dengan penguasa Jepang sehingga masyarakat Kristen Minahasa tidak perlu menyangkal iman mereka.

Masa 19571961, ia harus menghadapi Perdjuangan Semesta serta akibat-akibatnya yang menimbulkan kehancuran yang hebat di seluruh Minahasa. Ketika pemerintah pusat mulai mengebomi daerah Minahasa, Badan Pekerja Sinode GMIM yang dipimpin oleh Pdt. A.Z.R. Wenas sebagai ketua Sinode dan Pdt. P.W. Sambouw sebagai sekretaris, umumnya mengeluarkan imbauan agar pertumpahan darah dihentikan. Dalam suratnya, BPS GMIM menyatakan:

Hentikan pemuntahan peluru dan granat di Kota Manado dan kota-kota lainnya yang telah menyebabkan tewasnya orang-orang tak berdosa. Usahakan penyelesaian pergolakan ini, ganti pedang dan tarik pesawat-pesawat pembom serta serangan-serangan yang seru dan membahana... Sekali lagi kami tegaskan bahwa adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah daerah kita Minahasa dan daerah-daerah lain yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen akan mengisap darah dari anak-anaknya sendiri dan darah suku-suku yang lain di Indonesia karena perang saudara ini.

Motto terhadap gereja Minahasa

' "Tanah dan Bangsa Minahasa adalah ciptaan dan anugerah Tuhan. Agama/Gereja di Minahasa harus menjalankan misinya lepas dari pengaruh negara, sambil melaksanakan kesaksian kenabiannya melalui perbuatan yang nyata dengan mencerdaskan manusia, menolong orang yang sakit dan mengangkat derajat kesejahteraan Bangsa Minahasa“ (Ds. A.Z.R. Wenas)"

Penghormatan

Nama A.Z.R. Wenas kini diabadikan sebagai nama yayasan pendidikan dan kesehatan milik Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang kantor pusatnya terletak di Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Referensi

  1. ^ Tentang Yayasan Ds. A.Z.R. Wenas.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya